2020/11/27

Melacak Catatan di Facebook

Ini tulisan tidak lazim. Isinya semacam tutorial. Pemantiknya, status Facebook (Fb)-nya Kang Putu Gunawan Susanto yang saya dapati sore ini. Beliau memprotes Fb lantaran menghilangkan halaman Catatan (Notes) dari fiturnya. Saya pun pernah mengalami kekecewaan serupa, 6 November yang lalu. Bedanya, protes Kang Putu disertai kebingungan akibat gagal menemukan catatan-catatannya yang sebelumnya pernah dibuat, disimpan, dan mungkin dipublikasikan.

Tergerak pikiran saya untuk membagikan hasil pengembaraan saya untuk melacak catatan-catatan saya.

  1. Buka halaman pribadi.
  2. Klik 3 titik (...).
  3. Klik "Activity Log" (baris ke-2; maaf, saya tidak tahu apa istilahnya dalam edisi bahasa Indonesia).
  4. Muncul menu "Activity Log", klik "Filter".
  5. Muncul menu "Filter", gulung ke bawah hingga menemukan "Notes/Catatan".
  6. Klik lingkaran di kanan "Notes" hingga terisi lingkaran biru.
  7. Klik "Save Changes".
  8. Tampillah catatan-catatan yang pernah kita simpan.
(1) Buka halaman pribadi; (2) klik "..."; (3) klik "Activity Log".


(4) Klik "Filter".


(5) Scroll ke bawah hingga menemukan "Catatan/Notes".


(6) Klik lingkaran di kanan "Notes" hingga terisi warna biru; (7) klik "Save Changes".

(8) Catatan-catatan kita ditampilkan pada "Activity Log".

Semoga membantu sahabat-sahabat Fb yang membutuhkan, seperti Kang Putu.

Catatan: Kita hanya bisa membuka dan membaca kembali catatan yang pernah tersimpan; tidak bisa menyuntingnya atau membuat catatan baru.

2020/11/24

Selisih yang Mulai Terasa

 

Barisan pendidik muda yang terdidik dan bertalenta

Tak terasa. Ternyata saya sudah menua. Hari ini kesan itu begitu terasa. Sontak saya ingin mengaca. Terbayang wajah saya setua Pak Wanada--yang sempat menyangka saya putra penggawa--32 tahun yang lalu, ketika saya masih berkostum putih abu-abu. Tapi jelas, hingga hari ini jiwa saya terlalu jauh untuk menyetarai kedewasaan beliau kala itu.

Hari ini saya bersila selantai dengan anak-anak muda. Profesi dan medan tugas mereka sama dengan Pak Wanada ketika itu: mendidik generasi putih abu-abu. Yang berbeda, Pak Wanada yang saya "cumbui" hari-hari itu seumur dengan bapak saya; sementara mereka yang saya "cemburui" hari ini sebaya adik jauh--atau bahkan anak--saya. 

Sehari ini mereka bersukacita, merayakan hari istimewa mereka: Hari Guru Nasional. Salah satu acaranya, lomba cerdas cermat. Gambar kiri merekam keseriusan mereka ketika tengah berpacu memperebutkan sembilan kursi finalis. Dua puluh butir soal kuis harus mereka lahap. Masing-masing memegang iPad untuk mengirim jawaban. Selain benar, mereka harus beradu cepat untuk memperoleh skor tertinggi. Di sinilah keseruannya. Sering terdengar teriakan kecewa. Sudah dipencet cepat-cepat, ternyata jawaban gagal terkirim. Koneksi internet ternyata suka pilih kasih. Apa boleh buat? Adakalanya teknologi berkhianat, menjadi trouble maker.

Gambar kanan menampilkan ke-9 jawara kuis penyisihan. Nama-nama mereka dikopyok untuk menentukan regu masing-masing: A, B, atau C. Kepada mereka disodorkan 3 x 6 soal wajib, 3 x 6 soal lemparan, dan 14 soal rebutan. Konten soal meliputi tiga subjek literasi: agama, pendidikan, dan matematika. Ada yang tidak seperti lazimnya lomba: mereka tetap tertawa lepas ketika jawabannya dinyatakan salah, bahkan hingga berdampak pengurangan skor 100 sekalipun. 

Begitulah, salah satu agenda peringatan Hari Guru Nasional tahun 2020 di SMA Islam Hidayatullah Semarang. Saya pun mendadak tertunduk lesu. Sepanjang jadi murid, tak pernah sekali pun saya mengucapkan "Selamat Hari Guru" kepada Ibu/Bapak guru saya.

Sebagai tanda penyesalan, saya tebus dosa saya itu dengan doa: Dhuh Gusti, kula suwun Paduka tansah ngluhuraken guru-guru kula, ingkang taksih sugeng menapa dene ingkang sampun kondur nyawarga langgeng. Amin.

2020/11/20

Guru SI JURNALIS Berguru kepada Jurnalis SANG GURU

 

Jurnalis SANG GURU Edhie Prayitno Ige di Depan 25 Guru SI JURNALIS

Srondol Wetan, 18 November 2020

Bermental penantang! Itu barangkali label yang pas untuk menggambarkan spirit guru-guru ini. Betapa tidak? Dua pekan sebelumnya, seorang provokator berulah di grup WhatsApp komunitas mereka. Begini provokasinya:

STOP PRESS

Ibu/Bapak, kalau saya membuka KELAS JURNALISTIK kira2 ada peminatnya gak, ya?
Syarat:
(1) doyan menulis;
(2) siap berjibaku menjaga nyawa media online (website/blog) sekolah masing2;
(3) doyan belajar;
(4) tidak alergi kritik.

Ibu/Bapak yang berminat masuk kelas yang akan saya buka, silakan tulis NAMA dan UNIT KERJA.
1. 
2.
3.
dst.

Gila! Dua puluh sembilan nama dari enam unit kerja mencatatkan diri. Mereka terdiri atas guru PAUD, guru SD, guru SMP, guru SMA, administrator QLC (Pusat Pembelajaran Al-Qur'an), dan Pimpinan Sekretariat Lembaga. Semuanya bernaung di Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Hidayatullah, Yayasan Abul Yatama Semarang.

Berani mendaftar, berarti mereka berani memenuhi empat syarat itu. Oleh karenanya, judul tulisan ini menjuluki mereka guru SI JURNALIS. Ya, pemilik 29 nama itu adalah guru-guru yang SIap aJUR siNAu nuLIS

Entah apa motif sebenarnya yang mendorong mereka memutuskan untuk masuk kelas yang ditawarkan. Jangan-jangan sekadar hendak menguji kesaktian si provokator yang kementhus membuka kelas jurnalistik itu. Andai benar demikian, pasti mereka kecele. Belakangan formulir pendaftaran itu disusuli keterangan seperti ini.

"Niat saya hanya membuka kelas. Seperti satpam atau pak bon. Gurunya makhluk lain. Jurnalis ori." 

Pengumuman susulan itu pun terbilang nekat. Makhluk yang diincar untuk mengajar itu belum merespons lamarannya. Juga belum bisa ditebak bagaimana rupa kelasnya kelak, kalau permohonannya itu dikabulkan. Semua masih tanda tanya yang dipaksakan bercita rasa keyakinan. Apalagi, keduanya belum pernah bertemu. Saling intip di dunia maya pun baru berlangsung dalam hitungan bulan. Hingga suatu sore si provokator sekonyong-konyong menyelonong ke kediaman orang yang hendak didaulat mengurus kelas yang akan dibukanya. 

Plong! Deal. Cukup dengan satu kali pertemuan berdurasi sekitar satu jam. Tanpa MoU. Tanpa proposal. Pun tanpa jamuan makan siang atau makan malam (karena kedua pihak masih doyan makan nasi). Hanya bermodalkan saling percaya, mungkin. Pihak pelamar percaya akan kelayakan dan keringantanganan orang yang dilamar. Pihak terlamar pun percaya akan kesungguhbutuhan orang yang datang melamar.

Titimangsa dan sasana dirancang, tentu dengan petung memet. Hari Rabu, tanggal delapan belas bulan November tahun dua ribu dua puluh. Pukul 07.58 s.d. 10.03 (tanpa petung memet dijamin tidak bakal muncul angka-angka mistis ini). Di meeting room (tiru-tiru istilah di hotel itu lho) SD.

Hari yang sakral itu pun tiba. Menjelang pukul delapan, 22 guru SI JURNALIS mulai berdatangan dari unit kerja masing-masing. Wajah mereka berbinar-binar. Sudah sepekan mereka ngampet keinginan untuk segera masuk kelas. Kok cuma 22? Yang tujuh mengundurkan diri. Eh, bukan. Tujuh orang berhalangan hadir karena ada tugas dinas yang sulit dijadwal ulang. Ketidakhadiran mereka dimanfaatkan tuan (tepatnya: nyonya) rumah. Bu Kepala SD minta tambahan jatah peserta untuk menambal yang absen. Tiga orang guru menjadi peserta dadakan. Jadilah 25 orang peserta.

Hingga setengah jam lewat dari waktu yang dijadwalkan, pengampu kelas yang dinanti tak kunjung datang. Membuat waswas saja! Tentu, yang panik hanya si inisiator (sudah naik maqom-nya, dari semula provokator). Kalau sampai coach batal datang, apa reaksi peserta? Namun, kepanikan itu hanya mampir sebentar. Ia segera ingat budaya bangsa di sebelah negara tetangganya. Kuliah kosong, mahasiswa bersorak girang. Bisa diganti dengan acara saling tukar PR. Diklat disudahi lebih awal, peserta bertepuk gembira. Bisa dilanjut rujakan. Dan semacamnya, dan sebagainya, dan seterusnya.

"Tulalit tulalit ... tulalit tulalit ...," sebatang ponsel berdering.

Ternyata yang ditunggu-tunggu sudah memarkir tunggangannya di halaman depan. Plong kali kedua! Akhirnya 25 guru SI JURNALIS jadi berguru kepada jurnalis SANG GURU. Jurnalis itu hanya salah satu sebutan yang sah untuk disematkan padanya. Sebutan-sebutan yang lain masih banyak. Sedangkan SANG GURU adalah atribut yang pas untuk melukiskan sosoknya: SANGar, waGU, kuRU.

Yang sangar bukan penampilannya. Pada aspek ini, sungguh, justru sebaliknya. Yang sangar itu sepasang anasir utama yang terbungkus penampilannya yang tidak mbejaji itu. Silakan tebak sendiri, apa kedua anasir itu. Kalau masih penasaran, silakan lacak jejak kesangarannya pada tulisan-tulisannya. Kalau masih belum puas, silakan jagongan sembari ngopi santai bersamanya.

Ke-wagu-annya tampak pada rentetan kejadian berikut. 

Pertama, setelah memarkir mobil, ia (pokoknya, saya tak mau pakai pronomina "beliau") kelimpungan mencari tas. Seantero mobil digeledah. Tas, berisi sejumlah buku karyanya yang disiapkan sebagai hadiah untuk peserta, ternyata tidak terbawa. Kepada penyambutnya ia bilang, "Besok tolong diambil di rumah, ya, Mas. Ini ada satu, buat njenengan saja dulu."

Kedua, sambil berjalan menuju kelas, ia mengaku, "Aku mau lali tenan, lho, Mas. Bar mberesi gaweyan, nyekel hp terus mbukak WA-ne njenengan mau lagi kelingan." 

Oalah, maaak ...! Lawan (kenapa bukan "kawan", ya?) bicaranya itu sempat menduga mobilnya kehabisan bensin di tengah perjalanan, lho. 

Ketiga, setibanya di rumah--pulang dari "kampus perdana" itu--ia mengirim pesan WA, "Mas, buku tak kirim go send aja, ya?"

Dan ... ketika pesan itu dibuka di hp seberang sana (atau, sini?) tas berisi 13 bundel buku sudah bersemayam tenang di pos satpam: 2 bundel Negeri Satire plus 11 bundel Peradaban Salah Urus.
Benar-benar wagu, bukan?

Tentang kuru-nya, silakan lihat sendiri fotonya.

Lalu apa isi pelajaran perdana yang berlangsung selama dua jam itu? Tidak seberapa. Hanya dua butir pil menulis. Pil pertama, tentang syarat yang diperlukan untuk bisa menulis. Ini juga hanya dua: melek aksara dan lainnya. Yang lainnya itu pun hanya dua lagi: mampu menangkap setiap "huruf" yang terhampar di jagat semesta dan sanggup menggubah gugusan aksara dari hamparan "huruf-huruf"itu. Konversi dari ayat-ayat kauniyyah ke ayat-ayat qauliyyah. Serupa itu mungkin.

Pil kedua, menulislah! Nah, lo! Segera! Sekarang juga! Belum percaya diri? Sering-seringlah setor tulisan. Siapkan mental untuk nadhahi kritikan, disampaikan dengan bahasa pisuhan syar`i sekalipun. Ke mana? Mau moda daring, silakan. Pilih yang luring, sumangga. Kapan? 24 jam/hari. Asal tahu saja, dengan catatan atau syarat: selama Srengenge (putri semata wayangnya) merestui.

Kalau sudah begitu, masih kurang apa? Kalau ada peserta yang gagal, ya pasti hanya kurang SIap aJUR siNAu nuLIS.

  • Tabik untuk "orang biasa yang terbiasa membiasakan kebiasaan orang biasa di negeri yang luar biasa".

Guru Jurnalis atau Guru Narsis?

 

What's on your mind? Apa yang Anda pikirkan? Begitu pertanyaan yang selalu kita dapati ketika membuka jendela Facebook. Jadi, apa pun yang kita poskan di sana--teks, gambar, video, atau yang lain--mewakili isi kepala kita. Barangkali, oleh sebab itulah platform media sosial yang satu ini menamai dirinya Facebook. Atlas wajah, begitu terjemah saya, sekenanya.

Lalu, masih sekenanya pula, saya menengarai kehadiran dua aliran watak status yang ditampilkan oleh pengguna Facebook: jurnalistik dan narsistik. Yang saya sebut status jurnalistik adalah yang mewartakan objek di luar diri si pemilik akun. Sementara, status yang mewartakan objek seputar diri si facebooker saya golongkan sebagai status narsistik.

Saya tidak hendak menghakimi kedua aliran itu. Lewat catatan ala kadarnya ini saya sekadar ingin mengaksarakan imajinasi saya. Ide ini muncul setelah saya dibuat kecewa oleh iming-iming yang tidak sengaja saya jumpai di sebuah portal berita. Ada judul berita yang ditautkan di halaman berita yang saya baca. Judulnya menarik minat saya. Seusai tandas membaca berita itu, saya scroll ke atas untuk kembali ke judul berita lain yang ditautkan tadi. Lalu saya klik tulisan biru itu. Saya baca lumat isinya. Lebay amat?! Saya coba beralih ke beberapa judul lainnya. Semua senada. Oh, ternyata saya terseret ke portal buzzer. Atau influencer? Entahlah, saya kurang paham perbedaan antara kedua istilah itu.

Nah, serta merta pikiran saya (biar dipercaya bahwa saya punya pikiran) meloncat ke komunitas yang saya berkecimpung di sana: sekolah. Dari sekian (kata "sekian" ini untuk menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya cuma segelintir) teman saya di Facebook, sebagian besar keceh di komunitas serupa: sekolah. Tidak elokkah andai kami (baca: guru) nyambi menjadi sukarelawan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sekolahnya?

Guru buzzer? Guru influencer? Kenapa tidak? Tentu, tak harus sevulgar para buzzer di kampung politik yang suka lebay dan membabi buta itu. Semua bisa dimainkan secara cantik dan elegan. Dengan sedikit sentuhan jurnalistik. Ilmunya, dong! Halhaaah, ikuti saja jalan seniman. Eksperimen. Eksplorasi. Refleksi. Revisi. Serahkan ilmunya kepada para kritikus. Lalu konversikan kritik menjadi vitamin, protein, dan karbohidrat.

Dari mana guru menggali bahan jurnalisme sekolahnya? Kan tidak setiap hari ada special event yang layak publikasi? Memang ada peristiwa yang istimewa atau tidak istimewa? Bukankah setiap peristiwa bisa menjadi istimewa atau tidak istimewa? Menurut saya, peristiwa--apa pun--bisa menjadi istimewa atau tidak istimewa. Bergantung, ia diistimewakan atau ditidakistimewakan. Di sinilah peran angle.

Dalam jurus Mas Harun Mahbub Billah, guru virtual saya, menentukan angle itu menjadi langkah pertama yang mesti diambil oleh seorang jurnalis. Dan, masih pesan Mas HMB, "Jangan selingkuh angle!"  Pemilihan angle itulah yang akan membuat peristiwa biasa menjadi sajian berita luar biasa, atau sebaliknya. 

Izinkan saya sajikan contoh.

Namanya Imron. Raut mukanya selalu dingin. Tak pernah tampak luapan ekspresi. Sudah lebih dari setengah jam ia berkutat dengan satu butir soal. Ini hari kedua pelaksanaan ujian sekolah. Jadwalnya mata pelajaran Matematika. Ia baru sampai soal nomor 3. Belum diketahui juga apakah ia berhasil mengerjakan soal nomor 1 dan 2.

Berhenti lama di satu soal itu bukan pengalaman baru baginya. Dalam ulangan harian pun kejadian serupa sudah menjadi pemandangan biasa. Ibu dan Bapak guru pun sudah hafal dengan kebiasaannya. Semua memaklumi. Tak pernah terdengar cemoohan atas ketidakmampuannya dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Justru sebaliknya, Imron lebih sering menerima pujian daripada teman-teman sekelasnya. 

"Kau hebat, Imron. Tidak pernah menyerah dalam menghadapi kesulitan," puji Bu Aminah, guru IPA-nya.

"Jujur itu prestasi yang lebih berharga daripada nilai 100 dalam ulangan. Bisa saja nilai 100 bercampur dengan kecurangan karena sebagiannya hasil menyontek. Dan Imron adalah teladan nyata dalam merawat kejujuran itu," khotbah Pak Sugeng, guru Matematika yang sudah hampir dua tahun mengajar Imron.

"Dari hasil penilaian sebaya selama sepekan ini, diperoleh data bahwa siswa paling saleh di kelas kita adalah, lagi-lagi, Imron. Dari 31 temannya, tidak seorang pun mengaku pernah terganggu oleh perilakunya. Selamat, ya, Imron. Kau layak menjadi teladan bagi teman-temanmu," guru PPKn, Bu Pancasuli mengumumkan hasil survei karakter.

Begitulah. Sekolah yang oleh sebagian kalangan dianggap elite itu ternyata cukup nyaman untuk anak-anak "kurang pintar" seperti Imron. Siswa kelas 8F itu hanya salah satu di antara berpuluh-puluh anak yang kurang beruntung dalam prestasi akademis. Untungnya, seluruh warga sekolah mereka masih peduli akan prestasi nonakademis, karakter salah satunya.

Lalu diakhiri dengan tagar begini, misal:

#smpalmahmudah
#sekolahpedulikarakter
#sekolahramahanak
#sekolahholistik

Kira-kira, (1) apa impak dari tulisan di atas jika diposkan di medsos seorang guru di sekolah Imron? (2) Bagaimana jika guru tersebut meng-tag teman-temannya? (3) Bagaimana kalau teman-teman guru tersebut menyebarkan posting-an itu melalui medsos mereka? (4) Bagaimana kalau ibu atau ayah Imron di-tag juga? (5) Bagaimana pula jika di antara para pembaca ada sekian orang tua yang sedang mencari sekolah ideal untuk anaknya yang akan lulus SD? (6) Bagaimana kalau mereka minta konfirmasi kepada ibu/ayah Imron?

Peluang dalam pertanyaan terakhir itu yang mesti diantisipasi. Hanya satu jurusnya: semua kata yang dinyatakan di dalam posting-an harus sesuai kenyataan, benar menurut fakta. Jika jurus ini terpenuhi, hampir dapat dipastikan jawaban untuk pertanyaan nomor (4) adalah beliau akan menulis kata-kata indah di kolom komentar.

Bukankah siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal ujian itu peristiwa lumrah belaka? Siapa dan apa yang bisa membuatnya menjadi istimewa? 

Pun demikian semua aktivitas sehari-hari di sekolah. Guru mengajar itu peristiwa biasa. Upacara bendera setiap Senin itu kegiatan rutin biasa. Anak-anak makan di kantin itu pemandangan klise. Dan seterusnya. Dan sebagainya. Semua rutinitas akan tampak biasa-biasa saja jika dipandang dari angle yang biasa. Memberitakan yang tersembunyi di balik cerita dan menceritakan yang tersimpan di balik berita, itulah kerja jurnalistik. 

Guru bisa meluangkan waktu sejenak di sela-sela kesibukan mengajar. Guru bisa menyisakan ruang sedikit di antara kepadatan aktivitas di medsos. Guru bisa mengambil peran sederhana untuk mengangkat trust sekolahnya. Guru bisa sekali tempo tampil bak jurnalis, berselang-seling dengan aneka posting-an berbau narsis.

Bisa kan?