2019/06/26

Perbaikan Mutu Guru Membutuhkan Guru Pamong *)

Penulis bersama Sekjen Kemdikbud, Didik Suhardi, Ph.D.

Profesionalisme guru menjadi topik yang tidak bisa dilepaskan dari diskursus mutu pendidikan. Tidak bisa disangkal bahwa guru memainkan peran kunci dalam membentuk kualitas hasil pendidikan. Gurulah pengendali proses pembelajaran yang memungkinkan standar isi pendidikan berfungsi sebagai bahan olahan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Untuk menghasilkan lulusan bermutu, diperlukan proses pembelajaran berkualitas. Untuk menjamin kualitas proses pembelajaran, diperlukan guru kompeten.

Bertolak dari kebutuhan tersebut, beberapa negara menerapkan seleksi yang ketat terhadap calon guru. Di Finlandia, misalnya, seleksi calon mahasiswa pendidikan guru dimulai dari seleksi hasil ujian matrikulasi (ujian akhir SMA), rapor SMA, dan rekam jejak prestasi di luar sekolah. Kandidat yang lolos seleksi awal tersebut kemudian mengikuti tiga macam tes. Pertama, tes kognitif. Tes tulis ini menguji pemahaman calon mahasiswa tentang pedagogi berdasarkan buku yang ditentukan. Kedua, tes bakat. Calon mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas klinis tiruan situasi sekolah. Kecakapan interaksi sosial dan komunikasi diamati dan dinilai. Ketiga, tes minat. Calon mahasiswa diwawancarai, salah satu tujuannya untuk menggali motif mereka ingin menjadi guru.

Dengan seleksi seketat itu, tidak mengherankan bila di Finlandia, hanya para lulusan terbaik SMA yang berhasil mendapatkan tiket masuk program pendidikan guru. Pasi Sahlberg (2011) mencatat, sekitar 5.000 calon guru terpilih dari 20.000-an pelamar. Bahkan, untuk program pendidikan guru SD, yang lolos seleksi hanya sekitar satu di antara sepuluh pelamar. Di negeri salah satu top performer pendidikan ini, guru menjadi profesi kebanggaan yang didambakan oleh para lulusan SMA, di samping sangat terhormat di mata masyarakat.

Input yang unggul itu kemudian diikuti sistem pendidikan keguruan yang dikelola secara cermat. Selain matang dalam penguasaan pedagogi dan didaktik, mahasiswa calon guru juga mendapat pengalaman praktikum yang memadai. Selama kuliah, mahasiswa menempuh tiga tahap praktik pengalaman lapangan (PPL): dasar, lanjut, dan final. Dalam tiap-tiap tahap PPL, para mahasiswa menjalani tiga kegiatan. Pertama, mereka mengamati pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru-guru berpengalaman. Kedua, mereka berlatih mengajar sambil diobservasi oleh guru penyelia. Ketiga, mereka melaksanakan pembelajaran secara mandiri di kelas yang berbeda-beda sambil dievaluasi oleh guru penyelia dan dosen. Sahlberg menyatakan, berkisar 15 sampai dengan 25 persen waktu kuliah dihabiskan untuk mendulang pengalaman praktikum di sekolah.

Dibandingkan keseriusan Finlandia, sistem pendidikan guru di Indonesia cukup memprihatinkan. Dari segi prioritas minat calon mahasiswa, fakultas keguruan masih menjadi kampus kelas dua. Langka lulusan terbaik SMA yang “berkenan” menjadikan profesi guru sebagai cita-citanya. Kondisi itu masih diperburuk dengan sistem seleksi yang tidak dikendalikan oleh standar minimal lolos (passing grade). Jumlah mahasiswa yang diterima ditentukan berdasarkan daya tampung kampus. Sah-sah saja untuk dicurigai bahwa kampuslah yang membutuhkan mahasiswa, bukan mahasiswa yang membutuhkan kampus pendidikan calon guru.

Rekrutmen calon mahasiswa yang ala kadarnya itu “disempurnakan” dengan sistem pendidikan guru yang serba tanggung. “Neither fish nor meat,” kata Mochtar Buchori (1989), mengomentari kompetensi guru yang menyedihkan: ahli tidak, pendidik pun tidak. Kampus keguruan gagal membekali lulusannya dengan kecakapan profesional. Bekal pedagogi mentah, penguasaan didaktik tanggung, keterampilan pengembangan kurikulum minim.

Reformasi pendidikan guru tengah digulirkan. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru mengisyaratkan semangat reformasi itu. Terbitnya regulasi ini layak untuk diapresiasi. Setidaknya, Peraturan Menteri tersebut mengelaborasi dua komponen: standar kompetensi lulusan dan standar isi. Dua komponen—standar proses dan standar penilaian—perlu diwaspadai. Kedua komponen inilah yang akan menentukan berfungsi atau tidaknya standar isi sebagai bekal untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Satu komponen lain yang tidak kalah penting untuk dicermati adalah sistem rekrutmen calon mahasiswa. Selama seleksi calon mahasiswa masih berbasis daya tampung (baca: kebutuhan kampus), harapan akan perbaikan itu bisa berubah menjadi kecemasan.

Sambil menanti perbaikan kualitas guru hasil reformasi, pembenahan kompetensi guru dalam jabatan tidak boleh diabaikan. Guru-guru yang sudah telanjur bekerja ini tersebar di berbagai satuan, jenjang, dan jenis sekolah di seluruh wilayah Negara. Sebagian besar masih akan menjalani profesi guru dalam dua atau tiga dekade ke depan. Mereka juga yang akan menjadi populasi mayoritas ketika guru-guru gaya baru—produk standardisasi pendidikan guru, kalau efektif—mulai mengabdi di sekolah-sekolah. Dengan status junior dan minoritas, para guru baru cenderung mengalami kendala psikologis untuk unjuk performa maksimal.

Berbagai langkah sudah dilakukan sebagai upaya meningkatkan profesionalisme guru dalam jabatan. Standar kualifikasi akademik sudah dinaikkan. Semua guru harus berpendidikan S1 atau D4. Sertifikasi profesi, yang berdampak terhadap perbaikan pendapatan guru, sudah dijalankan. Uji Kompetensi Guru (UKG), yang konon bertujuan untuk memetakan kebutuhan akan pengembangan keprofesian berkelanjutan, sudah dilaksanakan secara berkala. Aneka pelatihan dengan berbagai materi oleh berbagai lembaga juga terus-menerus diagendakan. Forum kolaborasi sejawat, melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), juga masih hidup.

Lantas, mengapa sederet upaya tersebut tidak kunjung berdampak signifikan secara merata? Praduga saya, program-program yang menguras energi, waktu, dan biaya itu “salah alamat”. Tujuan luhur program-program tersebut hanya mandek di tataran das Sollen. Sedangkan di tataran das Sein, dalam banyak kasus aneka program itu hanya ritual simbolis untuk memperoleh pengakuan aksesoris. Interaksinya berbatas waktu, tidak sustainable.

Tentu, fenomena salah alamat itu tidak menimpa seluruh guru sasaran program. Masih banyak guru yang setia merawat idealisme dan serius menumbuhkembangkan profesionalisme. Sosok guru-guru mumpuni itu silih berganti bermunculan melalui aneka kompetisi. Keberadaan guru-guru unggul dan tangguh itu akan menyumbangkan manfaat lebih luas jika tersedia wadah apresiasi yang memadai.

Wadah apresiasi yang dimaksud adalah pemberian peran strategis dalam program pembinaan profesionalisme guru sejawat. Terlalu remeh jika apresiasi guru-guru hebat itu hanya berupa piagam dan hadiah materiel. Terlalu superfisial jika apresiasi atas prestasi mereka sekadar maujud dalam kenaikan pangkat atau promosi jabatan—diangkat sebagai kepala sekolah, misalnya.

Peran baru itu mesti membuka peluang terjadinya induksi dari guru profesional kepada guru-guru lain lintas sekolah. Di Singapura, ada guru yang berperan sebagai master teacher. Tugasnya, membimbing guru-guru sejawat agar mampu merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran secara optimal. Fungsinya, memastikan setiap guru memenuhi standar kualitas proses dan hasil pembelajaran. Sekadar catatan, guru-guru di Singapura punya tiga jalur pengembangan karier. Guru yang unggul dalam pengelolaan pembelajaran kelak dipromosikan menjadi master teacher. Guru yang cakap dalam kepemimpinan diproyeksikan untuk menjadi kepala sekolah. Guru yang punya passion di bidang riset diberdayakan dalam tim penelitian dan pengembangan untuk memajukan mutu pendidikan.

Konsep master teacher dapat diadopsi sebagai solusi bagi upaya pembinaan kinerja guru. Untuk memudahkan penyebutan, saya mengalihbahasakan master teacher menjadi guru pamong. Seleksi guru pamong dapat dilakukan dengan beragam teknik penilaian: tes, observasi, angket, dan wawancara. Formasi jabatan guru pamong berbasis bidang tugas. Untuk SD ada formasi guru pamong tiap-tiap tingkat kelas. Untuk SMP dan SMA/SMK ada formasi guru pamong tiap-tiap mata pelajaran.

Guru pamong tidak dibebani tugas mengajar di kelas siswa. Seluruh beban jam kerjanya didedikasikan untuk “mengasuh” guru-guru sejawat. Wilayah kerjanya bisa mengikuti sistem zonasi sekolah atau menurut proporsi beban pengasuhan yang efektif, misalnya: satu guru pamong mengasuh 15 guru. Pola pengasuhan dititikberatkan pada clinical coaching individual. Coaching dilakukan melalui observasi, pemodelan, dan pendampingan. Tatap muka klasikal dilakukan hanya untuk materi yang dibutuhkan oleh semua guru asuhan.

Para guru pamong itulah yang disasar sebagai peserta pelatihan untuk penyegaran dan pemutakhiran kompetensi. Selanjutnya, mereka bertanggung jawab untuk menularkan hasil pelatihan tersebut kepada guru-guru asuhannya. Kehadiran guru pamong diharapkan dapat memecah kebuntuan pola pembinaan profesionalisme guru dalam jabatan.


 *) Artikel ini telah dimuat di Kompasiana.com dan mendapat penghargaan sebagai Pemenang III dalam Lomba Artikel Pendidikan dan Kebudayaan kategori Umum oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2 Mei 2019.

2019/06/25

Ketam Macet


Kemarin (19/01/2018) saya meminjam mesin ketam/serut (Jawa: pasah; Inggris: planer). Sampai di rumah, ketam saya coba. Steker saya colokkan ke stopkontak. Ketam saya angkat. Sakelar saya pencet, tanpa menimpakan ketam ke kayu. Terdengar bunyi gir berputar kencang, tetapi roda pisau diam tak bergerak. Sejenak kemudian keluar asap dari celah rumah katrol. Steker saya cabut dari stopkontak. Rumah katrol saya buka. Dan ... owh, fan belt-nya terbakar! Meleleh!

Guguplah saya. Jujur, saya tidak paham seluk beluk mesin ketam elektrik itu. Sebelumnya baru satu kali saya menggunakan alat serupa. Jadi, kali ini akan menjadi pengalaman yang kedua. Saya terdiam sejenak, mencoba menduga-duga apa yang terjadi pada mesin pinjaman itu. Spekulasi saya, rantai karet itu terbakar karena tidak kuat menahan beban. Gir penggeraknya terus berputar kencang, sementara poros roda pisau yang ditariknya tidak mau turut berputar.

Sembari menunggu fan belt dingin agar bisa dibersihkan, saya coba memutar roda pisau dengan tangan. Nihil. Roda tak mau berputar. Sepertinya ada yang menahan kuat-kuat. Saya kendurkan pelat depan. Roda pisau saya coba putar lagi. Belum berubah. Masih macet. Pelat saya setel lebih kendur lagi. Roda mulai mau diputar, tapi seret. Akhirnya, pelat saya lepaskan dari blok mesin. Aha, ... ketemu-lah biangnya! Rupanya lintasan pisau terhalang oleh kerak tebal yang menempel pada lengkungan pelat. Buktinya, roda pisau bisa berputar lancar ketika pelat depan itu hengkang dari posisinya.

Kerak saya coba bersihkan dengan jari jemari. Gagal. Justru kuku-kuku saya yang terkelupas ujungnya. Akhirnya saya pakai sekrap untuk mengikis timbunan limbah padat yang sudah mengeras itu. Belum bersih sempurna. Masih perlu finishing. Sikat gigi bekas pun turut berjasa. Setelah dicelup dengan bensin, bulu-bulunya berhasil menjadi senjata pamungkas. Permukaan lengkung itu pun kembali mulus.

Pelat depan ketam saya pasang kembali. Roda pisau saya putar dengan tangan. Serrr ... roda berputar mulus bagaikan tak mau berhenti. Tibalah giliran untuk membersihkan sisa-sisa lelehan fan belt yang menempel di rumah poros. Cukup digosok dengan gombal berlumur bensin ... cling! Karena hari sudah gelap, saya harus menunggu terang esok hari untuk mencari ganti fan belt yang hangus terbakar, korban keganasan kerak jahat.

***

Begitulah organisasi. Organnya banyak dan beragam. Ada motor penggerak poros gir. Gir berputar menggerakkan fan belt. Secara simultan fan belt menarik gir, poros, dan roda pisau. Bilah pisau berputar mengikuti putaran rodanya dan menyerut permukaan kayu yang dilaluinya. Ada pelat belakang untuk memastikan kerataan permukaan kayu yang diketam. Ada pelat depan yang bisa diatur untuk menentukan ketebalan ketam. Ada cerobong untuk membuang serpihan kayu hasil serutan, yang ditiup oleh kipas blower. Ada gagang untuk pegangan tangan operator, yang dilengkapi dengan sakelar untuk penghubung dan pemutus arus listrik. Ada kabel daya yang dilengkapi dengan steker untuk menjemput arus listrik dari sumber dayanya. Tapi ingat, semua organ itu tidak akan berfungsi sebagai alat perata dan penghalus permukaan kayu jika tidak dirangkai menjadi satu kesatuan yang padu pada blok ketam. Nah, di situlah kita tidak boleh mengabaikan peran baut-baut pengikatnya.

Begitulah organisasi. Himpunan banyak orang bisa disebut organisasi kalau ada pengaturan peran dan fungsi tiap-tiap organ yang terlibat. Masing-masing punya kedudukan dan tugas yang berbeda, namun saling memengaruhi. Bahan, bentuk, dan matranya tidak sama dan masing-masing memerlukan tempat (kedudukan) yang memungkinkan mereka bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Yang tidak boleh dilewatkan, organ-organ itu membutuhkan perawatan saksama agar dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal.

Begitulah organisasi. Mari, belajar berorganisasi dari mesin ketam yang macet.

Sumber: https://pantulkit.blogspot.com/2018/01/ketam-macet.html

Tak Ada Murid Tak Pintar


Dia itu salah satu murid saya. Murid ilmu per-SOAL-an. Mulai dari nol. Besar. Dulu dia suka menyodorkan soal. Sudah jadi naskah sepaket. Minta disuntingkan. Saya baca sekilas. Lalu saya tanyakan: mana kisi-kisinya? Terbelalaklah si empunya soal.

Saya hafal. Mayoritas soal tes di negeri ini tidak menetas dari telur kisi-kisi. Entah. Mungkin terlalu merepotkan. Sempat membuat soalnya saja sudah bejo. Tak perlu dibebani tuntuntan yang lebih merepotkan: membuat kisi-kisi. Atau ada alasan lain: sudah mahir. Tiap pekan membuat soal. Masa, masih harus membuat kisi-kisi juga?


Dalam coaching kelompok pekan lalu, saya bertanya. Kepada seorang teman. Guru, yang juga penjahit. “Apakah penjahit yang sudah mahir juga biasa membuat baju yang dipesan pelanggannya tanpa membuat pola?” Begitu saya bertanya. “Ya tidaklah, Pak,” jawabnya. Sambil berekspresi gemas. Atau menggemaskan?


Murid saya punya alasan yang sama. Sudah tak berbilang naskah soal yang dihasilkan. Dan semua lolos. Tanpa ditagih kisi-kisinya. Barangkali lagi apes. Malam itu, belasan tahun lalu, dia menggugah sardula nendra. Sebenarnya sudah bertahun-tahun saya suka mengintip soal-soal buatannya. Dan saya temukan sejumlah kejanggalan. Tapi saya tak ambil pusing. Lebih enak melanjutkan tidur.
Insiden malam itu saya tangkap sebagai peluang. Kesempatan untuk turut berbakti: menambal kurikulum keguruan yang bolong-bolong. Turun tangan. Sekecil apa pun. Tak sekadar urung angan. Saya pinjam jargonnya Mas Anies, menteri yang tidak awet itu.

Diam-diam saya mengambil dokumen kurikulum. Lalu saya buatkan kisi-kisi soalnya. Lalu saya sodorkan kepadanya. Seperti dipaksa, dia pun membuat soal baru. Mulai dari nol lagi. Sesekali dia minta konfirmasi. Tentang stimulus yang mesti disajikan. Dia mendadak jadi rajin. Membolak-balik halaman koran dan majalah. Tak lagi mengandalkan buku teks, kitab sucinya bertahun-tahun. Malam-malamnya banyak tersita untuk menyeriusi mainan baru: soal yang genah. Dan mulai jarang menggauli mainan lama: saya. (?!)

Satu paket soal tes sumatif selesai. Sinyal-sinyal kelelahan tak bisa disembunyikan. Tapi, ekspresi kegembiraan tak jua mampu dirahasiakan. Rupanya dia mulai menemukan: penampakan ilmu yang pernah dikhutbahkan oleh mahagurunya. Bahwa menilai hasil belajar ternyata tak sama dengan menguji hafalan isi diktat.

Penasaran bercampur bayang-bayang kerepotan. Dia memberanikan diri bertanya: apakah setiap kali membuat soal harus juga membuat kisi-kisinya? Jawaban saya enteng: bukan harus membuat kisi-kisi, tapi harus berdasarkan kisi-kisi. Selama kurikulum belum berubah, satu kali dibuat, kisi-kisi bisa dipakai setiap tahun. Untuk jenis penilaian yang sama. Soalnya saja yang diperbarui. Diubah konteks atau stimulusnya. Atau diganti pertanyaannya. Atau semuanya. Maka, indikator soal mesti elastis.
Murid saya makin bergairah. Bukan terhadap saya! Melainkan terhadap seni merancang soal. Yang mengasyikkan itu. Dua, tiga, empat tahun tak cukup untuk membuatnya mahir. Seraya menapaki jalan menuju kemahiran itulah, dia melengkapi diri dengan kisi-kisi soal. Satu demi satu. Untuk seluruh kelas yang diampu. Untuk berbagai jenis penilaian: akhir tahun, akhir semester, tengah semester. Plus beberapa tes harian.

Ujian tak pernah luput menyambangi pejuang. Ketika bank kisi-kisi soal terpegang, kurikulum berganti. Eh, ber- atau di-, ya? Saya yakin, dia kecewa. Walau tak diungkapkan kepada saya. Justru saya yang sering menampakkan raut muka kecewa. Lantaran dia makin mesra dengan mainan yang mencanduinya: perangkat penilaian. Hingga merenggut malam-malamnya. Yang sebenarnya malam-malam saya pula.

Beberapa tahun terakhir dia menuai akibatnya: didaulat membuat soal untuk dipakai bersama. Digunakan di beberapa sekolah. Mulai sesubrayon. Lalu serayon. Dan hari-hari ini, dia sibuk dengan tugas baru lagi: menelaah soal. Buatan teman-teman sejawatnya. Untuk ujian akhir. Beberapa bulan mendatang.

Duh, saya hanya bisa menyesal! Sungguh, saya jadi tahu: tak ada murid yang tak pintar. Andai saya menyadari ini sedari dulu, pasti saya biarkan dia jumud dalam tradisi soal yang wujuduhu ka`adamihi. Ada rupa, tapi tiada dampak dan makna.

Sumber: https://www.blogger.com/blog-this.g

Bahasa Indonesia 1: Mengajak dan Minta Maaf



Kawan Melawan



Kawan Melawan
Kang Gw

petarung petarung naik panggung
cita cita ramai diusung
gemuruh sorak kaum pendukung
bersahut sahut pekik menggaung

sini teriak sana menyalak
berkacak pinggang tampakkan galak
tangan mengepal mata membelalak
bersuara kencang bikin pekak

Ulah Radikal dalam Merawat Kompetensi Guru

Menggemaskan! Itu kesan saya tentang modus pendidikan di negeri tetangga. Tetangganya Timor Leste. Betapa tidak? Ups, tahan dulu. Nanti saja narasinya. Di paragraf ujung sana. Atau di ujung tulisan ini.

Dua pekan terakhir ini saya berkutat dengan koreksi soal. Aneh, memang. Lazimnya, yang dikoreksi jawabannya. Kok, ini soalnya? Begitulah. Eh, belum. Baru begini. Maksudnya, begini ceritanya.
Seperti dalam catatan HOTS yang Lagi Hot #1 dan #2, pada 26 Januari lalu  saya menerima titah. Menemani teman-teman belajar membuat soal HOTS. Lengkapnya: soal tes tulis yang menguji keterampilan berpikir aras lebih tinggi (higher order thinking skills atau HOTS). Kegiatannya bertajuk coaching. Saya juga kewalahan menemukan padanan yang pas untuk kata coaching itu. Di kamus pernah saya temukan arti coach: kereta yang ditarik oleh empat kuda. Semacam kereta kencana tunggangan Prabu Kresna, barangkali. Yang turut berjasa dalam perang agung Bharatayudha itu.

Saya menyanggupi. Dalam hati, saya bimbang. Pihak mana yang kelak tidak betah: peserta atau coach-nya? Karena saya ingin benar-benar seperti delman carteran itu. Mengantarkan penumpang hingga ke alamat masing-masing. Targetnya paten: mahir membuat soal HOTS. Dan sejak awal saya sadar. Alamat peserta berbeda-beda. Ada yang dekat, ada yang jauh. Jalan yang mesti dilalui pun tidak sama. Ada yang lurus, ada yang berkelok. Medan yang harus ditempuh beragam pula. Ada yang datar, ada yang terjal.

Andai kegiatannya berbayar, saya akan cukupkan dengan satu kali pertemuan. Yang berlangsung setengah hari itu saja. Kalau diperpanjang, kasihan yang mbayari. Namun, saya sadar (tumben, ya?). Saya tak bisa berbuat banyak. Untuk negeri saya (karena saya pegawai swasta, bukan negeri). Pun untuk wilayah administratif yang lebih sempit. Bahkan, untuk yang paling sempit sekalipun. Kecipratan amanah selingkung ini saja, sudah anugerah luar biasa.

Saya membulatkan tekad: mengusiri (bentukan dari kusir, bukan usir) coaching hingga tuntas. Dan saya benar-benar menjalankan fungsi kusir: hanya mengendalikan arah. Agar tidak ada penumpang yang tersesat. Sedangkan laju kereta ditentukan oleh power para kuda. Tentu, juga dipengaruhi stamina penumpang: seberapa teguh (bukan nama saya; maka, t-nya tidak kapital) hasrat mereka untuk mencapai alamat. Asli, tentu. Bukan alamat palsu.

Alamat yang sering palsu itulah, yang selalu dan sedang saya gugat. Keterampilan merancang, membuat, dan menyajikan instrumen penilaian hasil belajar itu mestinya sudah tuntas. Di-coach-kan di bangku sekolah. Sebelum (maha)siswa bakal calon guru ditahbiskan sebagai calon guru. Dengan seremoni segala rupa. Jauh sebelum digelar ritual penyematan lencana profesional. Apriori, memang. Bisa jadi, itu fitnah belaka. Mendiskreditkan para (maha)guru. Yang bertahun-tahun menempa teman-teman saya itu. Dengan segenap ketulusan jiwa.

Di akhir pertemuan, saya memberikan tugas: membuat dua butir soal. Lengkap dengan kisi-kisinya. Beserta kunci jawaban dan pembahasannya juga. Disetor melalui surel (surat elektronik; padanan email). Karya yang sudah dikirim saya periksa. Saya beri catatan-catatan. Penanda kesalahan dan petunjuk perbaikannya. Lalu saya kirim balik kepada si empunya soal. Untuk diperbaiki. Hasilnya disetor kembali kepada saya. Saya periksa lagi, coret-coret lagi, kirim balik lagi. Begitu seterusnya. Hingga nihil kesalahan. Setidaknya, menurut kacamata saya. Bila sudah beres, baru saya akan memberikan tugas berikutnya.

Entah. Sampai kapan proses ini akan berlangsung. Sekali lagi, stamina teman-teman menjadi faktor dominan. Saya sih asyik-asyik saja. Merunut relevansi indikator soal dan kompetensi dasar rujukannya. Meraba-raba konstruksi soal yang dikehendaki indikatornya. Mengukur level kognitif yang teruji. Mencermati kejelasan dan fungsi stimulus soalnya. Mencerna keterbacaan bahasa yang digunakan. Menimbang-nimbang kelogisan dan homogenitas opsi-opsi jawabannya. Memprediksi peluang terjadinya multitafsir. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Ketika menjumpai kesalahan, sepele maupun fatal, saya anggap itu proses bagi teman-teman saya. Ya, mengetahui yang salah itu sering menjadi pengalaman berharga. Tahapan yang bermakna dan berdampak terhadap langkah selanjutnya: menjadi bisa menghasilkan yang benar. Sementara, bagi saya, kesalahan-kesalahan itu adalah ilmu autentik. Rambu-rambu yang menyuguhkan petunjuk: apa yang mesti saya lakukan. Jika sikap menerima kesalahan sebagai anugerah ini terus dijaga oleh kedua pihak, saya yakin: semua akan sampai pada alamat. Dengan selamat. Layak untuk dirayakan. Berhak atas sambutan suka cita.

Saya hanya kusir. Menarik tali kendali untuk memastikan arah menuju alamat. Memecut bila kuda menunjukkan gejala salah arah. Itu yang mengejawantah dalam notasi pada karya teman-teman. Saya tidak memberikan angka atau huruf sebagai simbol nilai. Tidak ada rapor. Tanpa ijazah, sertifikat, maupun piagam. Tidak juga berpengaruh terhadap penilaian kinerja. Seluruh proses itu menuju muara tunggal yang murni: memenuhi standar kompetensi guru. Dalam hal ini, kecakapan merancang, membuat, dan menyajikan alat penilaian yang akuntabel.

Kelayakan teknik dan alat penilaian hasil belajar, memang, selalu menjadi perhatian saya. Maklum, saya penghayat aliran kepercayaan: bahwa wajah penilaian adalah cermin untuk melihat rupa pembelajaran. Apa yang dinilai guru, menggambarkan apa yang diajarkan kepada siswa. Bagaimana guru menilai, mencerminkan bagaimana ia mengajar siswanya.

Modus saya dalam upaya merawat salah satu kompetensi teman-teman guru ini, boleh jadi terbilang radikal. Coaching tak berbatas tempat dan waktu, itu radikal. Pelatihan tanpa berujung sehelai sertifikat, itu radikal. Yang lebih radikal lagi: coach-nya tidak mengantongi sertifikat instruktur halal. Yang paling radikal: coach-nya berpendidikan lebih rendah daripada seluruh trainee-nya.

Kepada Ibu/Bapak (maha)guru pendadar para (calon) guru, saya mohon izin untuk melunasi utang Ibu/Bapak: mengantarkan teman-teman saya mencapai kemahiran dalam mengurus penilaian hasil belajar anak-cucu kita. Ibu/Bapak sudah berjasa besar: menanam benih-benih kompetensi itu. Melalui mata pelajaran/kuliah yang Ibu/Bapak ajarkan. Saya hanya membantu merawatnya. Agar benih-benih itu tumbuh menjadi tunas. Agar tunas-tunas itu bertumbuh berbatang berdaun berbunga dan berbuah (sengaja, saya tidak membubuhkan koma pada pemerian dalam kalimat ini; agar masih dikenali sebagai manusia: bisa dan biasa salah).

Nuwun. Pareng.

Sumber: https://kang-gw.blogspot.com/2019/02/ulah-radikal-dalam-merawat-kompetensi.html