2020/01/31

Andai Menterinya (Sudah) Nadiem, atau ...*)


Rupanya agak terlalu lama saya tidur. Maksud saya, mata dan telinga saya absen dari hiruk pikuk propaganda “pendidikan merdeka”. Frasa terakhir saya apit dengan sepasang tanda petik. Mungkin belum pernah terucap oleh Mas Nadiem. Saya pakai untuk merangkum sejumlah jargon yang sudah dipopulerkan: merdeka belajar, guru merdeka, dan kampus merdeka. Itu antara lain. Mungkin sudah ada yang lain. Yang luput dari perangkap jala informasi saya. Akibat tidur pulas itu.

Baru siang tadi saya siuman. Ketika sebuah artikel singgah. Di salah satu grup WhattsApp. Ruang belajar saya. Tulisan seorang ustaz. Judulnya keren. Merangsang. Ngaji Merdeka. Terpantik oleh catatan Abah DI, Dahlan Iskan, manusia yang banyak tahu tentang banyak hal itu. “Pagi ini saya membaca tulisan Pak Dahlan Iskan di akun FB-nya,” tulis Ustaz di paragraf ke-1 artikelnya, “tentang ide Mendikbud, Mr. Nadiem Makarim.”

Paragraf pengantar itu sempat membuat saya terkecoh. Saya menyangka, paragraf ke-3 dan seterusnya--yang mengupas topik “ngaji merdeka”--adalah kutipan catatan Abah DI. Saya baca hingga akhir. Sambil terus memelihara rasa curiga. Kok, style-nya enggak DI’s Way banget! Tak mau berlama-lama mengidap gangguan “simtom” curiga, saya segera kejar. Bukan Facebook yang saya rambah. Melainkan, blog DI’s Way di https://www.disway.id/r/819/pin-nadiem. Yang sejak memasuki tahun ke-2 tak lagi menyediakan fitur berlangganan via email.

Pin Nadiem. Begitu judul catatan teranyar Abah. Bertarikh “30 January 2020”. Hari ini. Lagi-lagi saya terkecoh. Oleh judulnya itu. “Ini cuma mendedah pin,” gerutu saya, “Bukan tentang ide gilanya Mas Menteri!” Ah, ... rupanya saya pun mulai lupa dengan gaya DI’s Way. Itu lantaran sudah hampir satu tahun kehilangan sarapan ke-2. Sebelum 11 Februari 2019, setiap subuh DI’s Way menyapa lewat notifikasi yang singgah di posel. Lalu saya klik alamat tautan ke artikelnya. Maka, jadilah catatan Abah sarapan ke-2 (konsumsi kepala). Menu setelah sarapan ke-1 (konsumsi hati). Sebelum sarapan ke-3 (komsumsi perut).

Tak urung, saya baca lumat juga tulisan itu. Sambil menyimpan teka-teki: di mana pinnya? Seluruhnya mengupas gagasan Mendikbud. Tentang “Kampus Merdeka”. Soal pin hanya disinggung dalam tiga paragraf pamungkas. “Hari itu saya lihat Nadiem juga mengenakan 'simbol/pin menteri' di bajunya bagian dada. Ia kelihatan tampil lebih formal,” tulis Abah di paragraf ke-3 terakhir. Dua paragraf sisanya hanya memuat pengakuan Abah atas kekalahannya dari Nadiem. Selama tiga tahun menjadi menteri--ia menyebutnya “menjadi sesuatu”--Abah tidak pernah memakai pin menteri. Pernah sekali (1x) ingin memakai. Tapi gagal. “Saya cari tidak ketemu,” akunya. Dasar! (Ups, ... di sini tidak tersedia emoji, ya? Untuk membubuhkan tanda “mohon ampun”. Seperti di sono itu.)

Ulasan DI’s Way itu akhirnya mengantarkan saya ke sini: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/01/mendikbud-luncurkan-empat-kebijakan-merdeka-belajar-kampus-merdeka. Dokumentasi kegiatan Mas Menteri, 24 Januari 2020. Telat sepekan, saya! Komplet! Ada video launching-nya. Reportasenya. Tiga keping foto. Plus tautan untuk mengunduh slide presentasinya. Yang sudah dikonversi ke PDF. Saya langsung unduh materi paparan itu. Tanpa membaca reportasenya. Videonya juga baru saya putar dan simak sambil menulis catatan ini. Segera saya buka berkas unduhan. Untuk memindai pokok-pokok kebijakan Kampus Merdeka itu. Dan mata saya bersicepat memelototi poin 4: hak belajar tiga semester di luar program studi.

Saya kejar detail arah kebijakannya. Khusus poin 4 itu. Poin 1, 2, dan 3 tidak menggugah selera baca saya. Di luar wilayah minat saya.
Ini slide-nya (hasil screenshot):


Slide berikutnya memuat 8 (delapan) contoh kegiatan yang dapat diikuti mahasiswa di luar kampusnya:


Saya mendadak terkenang kepada fragmen kenakalan saya tiga windu silam. Dengan nekatnya, saya menyurati Rektor. Pokok pesannya, permohonan previlese untuk menuntaskan studi tanpa menulis skripsi. Substitusinya, saya minta palilah untuk nglakoni magang selama 2 tahun. Kalau dianggap terlalu lama, ya bolehlah, ditawar 1 tahun. Kalau masih kelamaan juga, okelah, minimal 1 semester. Kurang dari itu? Tak!

Simpel! Saya tak mau kepalang tanggung. Sudah telanjur menerima titah untuk menjadi (calon) guru. Ingin bertumbuh menjadi (calon) guru yang betul. Magang--istilah resminya, Praktik Pengalaman Lapangan (PPL)--selama 6 pekan belumlah memadai! Apalagi, dalam 6 minggu itu--berkat kenakalan saya pula--hanya 8 kali praktik mengajar. Itu pun nyaris tanpa refleksi. Guru pamong, sebutan resmi untuk mentor, hanya menunjukkan kelebihan dan kekurangan dalam praktik mengajar. Itu kalau diminta. Tidak memberikan kesempatan untuk menjalani remedi. Mencoba cara lain. Dengan alat lain. Untuk memperbaiki kekurangan.

Saya berjanji. Selama menjalani ekstensi PPL itu, saya akan melunasi siklus magang yang terutang dalam PPL reguler: merancang rencana pembelajaran, mempraktikkan rancangan, mengevaluasi hasil dan merevisi rancangan, mempraktikkan rancangan terevisi. Bukankah begitu siklus manajemen? Plan, Do, Check, Act (P-D-C-A)? Rekaman praktik magang itu akan saya tulis sebagai laporan studi kasus. Begitu saya menyebutnya kala itu. Belakangan saya tahu, kegiatan seperti itu dinamai Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dan dikampanyekan secara massif kepada para guru.

Itu kepentingan subjektif saya. Di dalam surat sepanjang 36 halaman A4 dengan spasi 1,5 baris itu, saya juga memaparkan kebutuhan objektif. Bahwa mahasiswa di kampus keguruan punya 3 orientasi yang menjadi opsi jalan hidupnya setelah lulus. Pertama, setia menekuni profesi guru. Kedua, naik kasta menjadi akademisi. Ketiga, melupakan nightmare jadi guru dan berpindah haluan ke profesi lain.

Yang ingin bersetia menjadi guru berhak untuk meraup bekal yang memadai. Pengalaman mengajar di berbagai situasi dengan beragam kondisi adalah bekal penting. Pengalaman mengajar sekejap hanya di satu sekolah tentu jauh dari ukuran cukup. Bagaimana kalau kelak bertugas mengajar di daerah terpencil? Dengan insfrastruktur minim? Dengan strata sosial-ekonomi masyarakat yang jauh di bawah ambang batas kelayakan? Sementara PPL dilakoni di sekolah favorit? Di kota megalopolitan (sengaja saya hadirkan untuk meluruskan bentuk tidak baku “megapolitan” yang kaprah dipakai)? Dengan murid-murid berinteligensi selangit, dengan elan berprestasi yang dahsyat, dengan iklim kompetisi ekstraketat, lagi pula dimanjakan dengan fasilitas serba canggih, mutakhir, dan lengkap?

Kepada mereka yang ingin menggeluti dunia akademik, kampus juga mesti memfasilitasi. Para kandidat akademikus itu perlu magang di lembaga-lembaga riset. Keterlibatan dalam proyek-proyek riset bersama para peneliti senior tentu menjadi pengalaman berharga. Nah, kewajiban menulis skripsi menjadi relevan untuk diterapkan pada golongan ini. Dengan tujuan utama mengasah kecakapan akademik, maka pembatasan topik penelitian hanya pada disiplin ilmu sesuai dengan program studi mahasiswa menjadi tidak penting.

Anak-anak muda dinamis yang cenderung “murtad” dan menempuh jalan lain pun berhak untuk diakomodasi. Mereka perlu diberi kesempatan untuk mendulang pengalaman dan mengasah kemahiran di bidang pekerjaan dan/atau pengabdian sesuai dengan passion masing-masing. Kampus cukup memberikan restu dan memantau perkembangan kecakapan mereka.

Portofolio pengalaman belajar di dunia nyata yang match dengan minat mereka jelas jauh lebih bermakna ketimbang skripsi yang kadang “diperkosa” relevansinya dengan pembelajaran disiplin ilmu tertentu. Misalnya, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris menganalisis sebuah novel sebagai bahan skripsinya. Judulnya keren: Penokohan dalam Novel “Tom Sawyer” Karya Mark Twain dan Saran Pembelajarannya di SMA. Frasa “saran pembelajarannya di SMA” itu jelas-jelas 101% ilusif. Mana sempat guru bahasa Inggris SMA mengajarkan analisis novel? Menggamblangkan pemakaian simple past tense versus past perfect tense saja enggak kunjung tuntas! Tetapi, judul semacam itu lolos juga! Pun berhasil mengantarkan mahasiswa lulus secepat kilat.

Kini, setelah terlupakan hampir seperempat abad, igauan saya itu terasa menemukan pengakuan. Ide kampus merdeka ala Nadiem itu sudah “naik pangkat” menjadi kebijakan Kemendikbud. Ya, kebijakan yang punya kekuatan mengikat. Jajaran direksi (saya sempat mumet; untuk kata “direktur” ada “direksi”, lalu adakah “reksi” untuk “rektor”?) perguruan tinggi harus segera mendesain format adaptasinya. Beberapa kampus tinggal memperkaya program. Karena sudah menjajal tradisi baru itu. Seperti KKN mahasiswa UGM di Papua. Yang sempat ditayangkan video dokumenternya. Di akhir paparan Nadiem. Pada acara peluncuran program Kampus Merdeka itu.

Sementara, saya cuma bisa mengkhayal. Andai saat itu menterinya sudah Nadiem Makarim! Hampir dapat dipastikan, kenakalan saya itu akan bertepuk 2 belah tangan! Atau, ... andai saat ini menterinya saya! Boleh jadi kebijakannya mirip-mirip begitu! Ah, tapi itu semata-mata cuma sekadar pengandaian khayal ilusif belaka! (Pleonasme lebaikah?)

Akhirnya, good job, Mas Nadiem! Dan ... selamat berjuang mewujudkan kampus merdeka, Ibu/Bapak penggawa perguruan tinggi!

Tabik.

*) disalin dari https://www.facebook.com/notes/kang-gw/andai-menterinya-sudah-nadiem-atau-/3253933427967325/






2020/01/23

Guru Betul SDM Unggul


(Jika) SDM Unggul (maka) Indonesia Maju. Begitu tema peringatan HUT ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2019 yang baru berlalu. Dua konjungsi subordinatif (jika dan maka—tidak efektif, sebenarnya) sengaja Penulis sisipkan untuk mempertegas hubungan kedua klausa pembentuk tema tersebut. Dalam bahasa Inggris, susunan kalimat majemuk semacam ini dijuluki sebagai conditional sentence. Mudah-mudahan kalimat tema ini masih tergolong if clause tipe 1. Artinya, kita belum terlambat, masih punya peluang untuk mewujudkannya.

Tak terbantahkan, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi faktor dominan yag menentukan kemajuan suatu bangsa. Tidak sedikit negara miskin sumber daya alam (SDA) yang bercokol di barisan depan kelompok negara-negara maju. Bahkan, Singapura, negara yang miskin wilayah teritorial pun, menjelma sebagai salah satu negara termaju di Asia dan cukup disegani di kancah dunia. Apalagi, kalau bukan kualitas SDM, faktor kuncinya?

Kemajuan, kemandekan, atau kemunduran suatu bangsa berbanding lurus dengan kualitas SDM-nya. Ini menjadi hukum alam yang berlaku bagi semua bangsa, tak terkecuali Indonesia. Negara tercinta kita ini tak lagi boleh terlena dengan pujian sebagai negeri gemah ripah loh jinawi (subur makmur berkelimpahan). Tanpa besutan SDM unggul, kekayaan alam yang berlimpah jenis dan volumenya hanya akan menjadi santapan empuk bagi raksasa rakus. Pengalaman terjajah berabad-abad mesti menjadi pengalaman berharga untuk segera berbenah.
“Memajukan kesejahteraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi cita-cita yang menghiasi mukadimah konstitusi kita. Naskah itu lahir hanya sehari setelah bangsa kita menyatakan kemerdekaannya. Begitu kentara ketajaman visi para pendiri negeri ini. Kini, 74 tahun kemudian, sepasang idiom itu kembali mencuat sebagai tema peringatan Kemerdekaan. Tidakkah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu (mestinya) menghasilkan SDM unggul? Bukankah Indonesia maju itu (mestinya) hasil kerja memajukan kesejahteraan umum? Lalu kenapa selama 74 tahun dua-duanya masih belum beranjak dari cita-cita belaka?

Apabila premis “jika SDM unggul, Indonesia maju” diterima dan saat ini Indonesia (merasa/dirasa) belum maju, pertanyaannya “Mengapa SDM Indonesia belum unggul?” Jika SDM unggul menjadi tujuan dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilembagakan dalam sistem pendidikan, pertanyaannya menjadi “Ada apa dengan sistem pendidikan kita?”

Di sebuah makalahnya, Pasi Sahlberg—profesor di Universitas Helsinki—pernah menulis, “The quality of an education system cannot exceed the quality of its teachers.” Ya, menurut tokoh utama strategi reformasi pendidikan Finlandia itu, kualitas sebuah sistem pendidikan tidak akan bisa melampaui kualitas guru-guru yang dimilikinya. Betapa tidak? Guru adalah pelaku utama dalam sebuah sistem pendidikan. Finlandia meyakini kebenaran kredo ini. Hasilnya? Performa pendidikan Finlandia menjadi pusat perhatian dunia dalam dua dekade terakhir.

Sistem pendidikan bertanggung jawab atas kualitas SDM keluarannya. Sedangkan guru adalah gir utama penggerak seluruh roda dalam sistem pendidikan. SDM unggul hanya bisa dihasilkan oleh sistem pendidikan yang andal. Sistem pendidikan andal hanya bisa diwujudkan oleh guru-guru yang betul. Saya sengaja memakai diksi betul untuk atribusi guru. Kata betul berkonotasi absolut, presisi, tidak bisa ditawar. Ujung anak panah yang menyimpang satu derajat saja dari titik sasaran tidak bisa dikatakan bidikannya betul.

Dari mana guru betul itu bisa didapat? Ibarat budi daya tanaman, guru betul hanya bisa didapat dari bibit guru yang betul. Bibit guru yang betul akan tumbuh menjadi calon guru yang betul hanya jika disemai di tempat dan dengan cara yang betul. Calon guru yang betul akan berkembang secara konsisten menjadi guru betul hanya jika ditanam di lahan dan dirawat dengan cara yang betul.
Pemilihan Bibit Guru

Beranikah kita menjamin bahwa semua lembaga pendidikan calon guru hanya menerima calon mahasiswa yang betul-betul layak menjadi calon guru? Regulasi kita menuntut guru memiliki empat kompetensi: pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Untuk mendapatkan bibit guru yang betul, empat kompetensi ini mesti menjadi kriteria dalam seleksi calon mahasiswa keguruan. Dalam hal ini, Finlandia lagi-lagi punya model yang layak diadopsi.

Pertama, calon mahasiswa diseleksi berdasarkan hasil ujian matrikulasi (semacam UN di sini) SLTA. Dalam konteks standar kompetensi guru di negara kita, seleksi ini berguna untuk memastikan bahwa calon mahasiswa keguruan memiliki bibit kompetensi profesional. Fungsi tersebut akan terpenuhi jika instrumen ujiannya mencerminkan penilaian kompetensi autentik. Tidak hanya hasil ujian matrikulasi, rekam jejak (rapor) dari dalam dan luar sekolah juga dipakai sebagai dasar seleksi calon mahasiswa keguruan. Rapor sekolah yang memuat deskripsi pencapaian kompetensi sikap dan keterampilan di samping kompetensi kognitif—dan sudah mulai diterapkan di sekolah-sekolah kita—adalah referensi untuk mengidentifikasi bibit kompetensi kepribadian dan sosial. Sertifikat, piagam, atau surat keterangan keterlibatan calaon mahasiswa dalam berbagai kegiatan keagamaan, sosial, seni budaya, olahraga, dan nonkurikuler lainnya menjadi bukti pendukung.

Tahap kedua, calon mahasiswa menyelesaikan ujian tulis berbasis buku pedagogi tertentu. Ini menguji kompetensi ganda: kognitif dan afektif. Kompetensi kognitif jelas teruji karena secara spontan calon mahasiswa diuji pemahamannya atas isi buku yang baru diterimanya saat itu juga. Kecakapan calon mahasiswa dalam mengerjakan ujian sekaligus mencerminkan afeksinya terhadap ilmu pendidikan. Kemampuannya menyelesaikan ujian dengan baik dapat dipastikan merupakan hasil dari setidaknya salah satu proses: sebelumnya sudah suka membaca buku-buku pedagogi atau baru kali pertama membaca tetapi sangat menikmati isinya. Dua-duanya mengindikasikan passion di dunia pendidikan.

Tahap ketiga, calon mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas klinis menyerupai situasi sekolah. Anekdot berdasarkan obervasi saksama atas aktivitas ini menjadi potret yang akurat mendeteksi bibit kompetensi pedagogik, kepribadian, dan sosial calon mahasiswa. Tahap keempat (final), calon mahasiswa menjalani wawancara. Salah satu pertanyaan terpenting yang menuntut penjelasan calon mahasiswa adalah “Mengapa Anda memutuskan untuk menjadi guru?”
Apakah prosedur seleksi yang rumit dan menguras energi seperti itu menarik minat untuk mengadopsi? Bergantung pada standar yang menjadi acuan penerimaan mahasiswa! Jika acuannya daya tampung kampus, tentu modus seleksi seketat itu akan dipandang sebagai tengara malapetaka. Mengapa? Penentuan daya tampung kampus tidak lepas dari kalkulasi ekonomis. Mekanisme seleksi semacam ini layak diadopsi hanya jika penerimaan mahasiswa pendidikan calon guru mengacu pada standar ambang batas kelayakan (passing grade).


Persemaian Calon Guru

Kampus penyelenggara pendidikan calon guru, atau di dalam sistem pendidikan kita dikenal dengan sebutan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), bertanggung jawab atas kualitas guru yang diluluskannya. Untuk tumbuh menjadi calon guru yang betul, bibit guru yang sudah terseleksi secara betul itu mesti “disemai” di LPTK yang betul juga.

Upaya pembenahan LPTK terakhir tertuang di dalam Peraturan Menteri Ristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru. Mengacu kepada rumusan Standar Pendidikan Nasional, Peraturan Menteri tersebut berisi rambu-rambu normatif yang meliputi delapan komponen: (1) standar kompetensi lulusan, (2) standar isi, (3) standar proses, (4) tandar penilaian, (5) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (6) standar sarana dan prasarana, (7) standar pengeloaan, dan (8) standar pembiayaan.

Untuk menjamin terwujudnya LPTK yang betul, pemenuhan standar pendidikan dan tenaga kependidikan patut untuk diprioritaskan. Mahasiswa hasil seleksi secara betul itu akan berkembang menjadi calon guru yang betul hanya jika mendapat pendidikan dan pelatihan dari pendidik dan coach yang betul pula. Harus dipastikan bahwa pendidik di LPTK adalah pedagog yang kompeten secara teoretis dan praksis. Dalam rangka mematuhi kriteria ini, dapat diprediksi bakal banyak LPTK mengalami penyusutan hak untuk menyelenggarakan pendidikan calon guru.

Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah ketersediaan sekolah latihan dengan guru-guru yang layak menjadi coach bagi mahasiswa calon guru. Penunjukan sekolah latihan (tempat magang mahasiswa calon guru) tanpa mempertimbangkan ketersediaan guru pamong yang layak sebagai coach hanya akan menularkan dan mewariskan malapraktik pendidikan dan pembelajaran.


Pembinaan Guru dalam Jabatan

Salah satu kelemahan mencolok dalam sistem pembinaan guru di negara kita adalah minimnya tanggung jawab “purnajual” LPTK atas kinerja guru produknya. Seolah-olah tanggung jawab LPTK berakhir ketika mahasiswa sudah diwisuda. Belakangan, LPTK tampak giat mengambil peran dalam “ritual” sertifikasi guru, sejak sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur portofolio dan jalur pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) hingga sertifikasi guru pra-jabatan melalui pendidikan profesi guru (PPG).

Alangkah anggun dan berwibawanya andai LPTK sekaligus mengemban tanggung jawab dan memegang otoritas sebagai institusi penjaminan mutu guru dalam jabatan. Dengan penyatuan peran itu, pengembangan profesional guru juga menjadi efisien. Pemerintah tidak perlu membuat berbagai macam lembaga atas nama pengembangan dan pemberdayaan guru.

Gagasan pemilihan bibit, pendidikan calon, dan pembinaan guru ini ditawarkan sebagai solusi untuk mendapatkan guru yang betul; bukan guru yang sekadar kebetulan menjadi guru. Guru betul menjadi jaminan terwujudnya SDM unggul sebagai kunci kemajuan Bangsa.