2020/11/20

Guru SI JURNALIS Berguru kepada Jurnalis SANG GURU

 

Jurnalis SANG GURU Edhie Prayitno Ige di Depan 25 Guru SI JURNALIS

Srondol Wetan, 18 November 2020

Bermental penantang! Itu barangkali label yang pas untuk menggambarkan spirit guru-guru ini. Betapa tidak? Dua pekan sebelumnya, seorang provokator berulah di grup WhatsApp komunitas mereka. Begini provokasinya:

STOP PRESS

Ibu/Bapak, kalau saya membuka KELAS JURNALISTIK kira2 ada peminatnya gak, ya?
Syarat:
(1) doyan menulis;
(2) siap berjibaku menjaga nyawa media online (website/blog) sekolah masing2;
(3) doyan belajar;
(4) tidak alergi kritik.

Ibu/Bapak yang berminat masuk kelas yang akan saya buka, silakan tulis NAMA dan UNIT KERJA.
1. 
2.
3.
dst.

Gila! Dua puluh sembilan nama dari enam unit kerja mencatatkan diri. Mereka terdiri atas guru PAUD, guru SD, guru SMP, guru SMA, administrator QLC (Pusat Pembelajaran Al-Qur'an), dan Pimpinan Sekretariat Lembaga. Semuanya bernaung di Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Hidayatullah, Yayasan Abul Yatama Semarang.

Berani mendaftar, berarti mereka berani memenuhi empat syarat itu. Oleh karenanya, judul tulisan ini menjuluki mereka guru SI JURNALIS. Ya, pemilik 29 nama itu adalah guru-guru yang SIap aJUR siNAu nuLIS

Entah apa motif sebenarnya yang mendorong mereka memutuskan untuk masuk kelas yang ditawarkan. Jangan-jangan sekadar hendak menguji kesaktian si provokator yang kementhus membuka kelas jurnalistik itu. Andai benar demikian, pasti mereka kecele. Belakangan formulir pendaftaran itu disusuli keterangan seperti ini.

"Niat saya hanya membuka kelas. Seperti satpam atau pak bon. Gurunya makhluk lain. Jurnalis ori." 

Pengumuman susulan itu pun terbilang nekat. Makhluk yang diincar untuk mengajar itu belum merespons lamarannya. Juga belum bisa ditebak bagaimana rupa kelasnya kelak, kalau permohonannya itu dikabulkan. Semua masih tanda tanya yang dipaksakan bercita rasa keyakinan. Apalagi, keduanya belum pernah bertemu. Saling intip di dunia maya pun baru berlangsung dalam hitungan bulan. Hingga suatu sore si provokator sekonyong-konyong menyelonong ke kediaman orang yang hendak didaulat mengurus kelas yang akan dibukanya. 

Plong! Deal. Cukup dengan satu kali pertemuan berdurasi sekitar satu jam. Tanpa MoU. Tanpa proposal. Pun tanpa jamuan makan siang atau makan malam (karena kedua pihak masih doyan makan nasi). Hanya bermodalkan saling percaya, mungkin. Pihak pelamar percaya akan kelayakan dan keringantanganan orang yang dilamar. Pihak terlamar pun percaya akan kesungguhbutuhan orang yang datang melamar.

Titimangsa dan sasana dirancang, tentu dengan petung memet. Hari Rabu, tanggal delapan belas bulan November tahun dua ribu dua puluh. Pukul 07.58 s.d. 10.03 (tanpa petung memet dijamin tidak bakal muncul angka-angka mistis ini). Di meeting room (tiru-tiru istilah di hotel itu lho) SD.

Hari yang sakral itu pun tiba. Menjelang pukul delapan, 22 guru SI JURNALIS mulai berdatangan dari unit kerja masing-masing. Wajah mereka berbinar-binar. Sudah sepekan mereka ngampet keinginan untuk segera masuk kelas. Kok cuma 22? Yang tujuh mengundurkan diri. Eh, bukan. Tujuh orang berhalangan hadir karena ada tugas dinas yang sulit dijadwal ulang. Ketidakhadiran mereka dimanfaatkan tuan (tepatnya: nyonya) rumah. Bu Kepala SD minta tambahan jatah peserta untuk menambal yang absen. Tiga orang guru menjadi peserta dadakan. Jadilah 25 orang peserta.

Hingga setengah jam lewat dari waktu yang dijadwalkan, pengampu kelas yang dinanti tak kunjung datang. Membuat waswas saja! Tentu, yang panik hanya si inisiator (sudah naik maqom-nya, dari semula provokator). Kalau sampai coach batal datang, apa reaksi peserta? Namun, kepanikan itu hanya mampir sebentar. Ia segera ingat budaya bangsa di sebelah negara tetangganya. Kuliah kosong, mahasiswa bersorak girang. Bisa diganti dengan acara saling tukar PR. Diklat disudahi lebih awal, peserta bertepuk gembira. Bisa dilanjut rujakan. Dan semacamnya, dan sebagainya, dan seterusnya.

"Tulalit tulalit ... tulalit tulalit ...," sebatang ponsel berdering.

Ternyata yang ditunggu-tunggu sudah memarkir tunggangannya di halaman depan. Plong kali kedua! Akhirnya 25 guru SI JURNALIS jadi berguru kepada jurnalis SANG GURU. Jurnalis itu hanya salah satu sebutan yang sah untuk disematkan padanya. Sebutan-sebutan yang lain masih banyak. Sedangkan SANG GURU adalah atribut yang pas untuk melukiskan sosoknya: SANGar, waGU, kuRU.

Yang sangar bukan penampilannya. Pada aspek ini, sungguh, justru sebaliknya. Yang sangar itu sepasang anasir utama yang terbungkus penampilannya yang tidak mbejaji itu. Silakan tebak sendiri, apa kedua anasir itu. Kalau masih penasaran, silakan lacak jejak kesangarannya pada tulisan-tulisannya. Kalau masih belum puas, silakan jagongan sembari ngopi santai bersamanya.

Ke-wagu-annya tampak pada rentetan kejadian berikut. 

Pertama, setelah memarkir mobil, ia (pokoknya, saya tak mau pakai pronomina "beliau") kelimpungan mencari tas. Seantero mobil digeledah. Tas, berisi sejumlah buku karyanya yang disiapkan sebagai hadiah untuk peserta, ternyata tidak terbawa. Kepada penyambutnya ia bilang, "Besok tolong diambil di rumah, ya, Mas. Ini ada satu, buat njenengan saja dulu."

Kedua, sambil berjalan menuju kelas, ia mengaku, "Aku mau lali tenan, lho, Mas. Bar mberesi gaweyan, nyekel hp terus mbukak WA-ne njenengan mau lagi kelingan." 

Oalah, maaak ...! Lawan (kenapa bukan "kawan", ya?) bicaranya itu sempat menduga mobilnya kehabisan bensin di tengah perjalanan, lho. 

Ketiga, setibanya di rumah--pulang dari "kampus perdana" itu--ia mengirim pesan WA, "Mas, buku tak kirim go send aja, ya?"

Dan ... ketika pesan itu dibuka di hp seberang sana (atau, sini?) tas berisi 13 bundel buku sudah bersemayam tenang di pos satpam: 2 bundel Negeri Satire plus 11 bundel Peradaban Salah Urus.
Benar-benar wagu, bukan?

Tentang kuru-nya, silakan lihat sendiri fotonya.

Lalu apa isi pelajaran perdana yang berlangsung selama dua jam itu? Tidak seberapa. Hanya dua butir pil menulis. Pil pertama, tentang syarat yang diperlukan untuk bisa menulis. Ini juga hanya dua: melek aksara dan lainnya. Yang lainnya itu pun hanya dua lagi: mampu menangkap setiap "huruf" yang terhampar di jagat semesta dan sanggup menggubah gugusan aksara dari hamparan "huruf-huruf"itu. Konversi dari ayat-ayat kauniyyah ke ayat-ayat qauliyyah. Serupa itu mungkin.

Pil kedua, menulislah! Nah, lo! Segera! Sekarang juga! Belum percaya diri? Sering-seringlah setor tulisan. Siapkan mental untuk nadhahi kritikan, disampaikan dengan bahasa pisuhan syar`i sekalipun. Ke mana? Mau moda daring, silakan. Pilih yang luring, sumangga. Kapan? 24 jam/hari. Asal tahu saja, dengan catatan atau syarat: selama Srengenge (putri semata wayangnya) merestui.

Kalau sudah begitu, masih kurang apa? Kalau ada peserta yang gagal, ya pasti hanya kurang SIap aJUR siNAu nuLIS.

  • Tabik untuk "orang biasa yang terbiasa membiasakan kebiasaan orang biasa di negeri yang luar biasa".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar