2020/11/20

Guru Jurnalis atau Guru Narsis?

 

What's on your mind? Apa yang Anda pikirkan? Begitu pertanyaan yang selalu kita dapati ketika membuka jendela Facebook. Jadi, apa pun yang kita poskan di sana--teks, gambar, video, atau yang lain--mewakili isi kepala kita. Barangkali, oleh sebab itulah platform media sosial yang satu ini menamai dirinya Facebook. Atlas wajah, begitu terjemah saya, sekenanya.

Lalu, masih sekenanya pula, saya menengarai kehadiran dua aliran watak status yang ditampilkan oleh pengguna Facebook: jurnalistik dan narsistik. Yang saya sebut status jurnalistik adalah yang mewartakan objek di luar diri si pemilik akun. Sementara, status yang mewartakan objek seputar diri si facebooker saya golongkan sebagai status narsistik.

Saya tidak hendak menghakimi kedua aliran itu. Lewat catatan ala kadarnya ini saya sekadar ingin mengaksarakan imajinasi saya. Ide ini muncul setelah saya dibuat kecewa oleh iming-iming yang tidak sengaja saya jumpai di sebuah portal berita. Ada judul berita yang ditautkan di halaman berita yang saya baca. Judulnya menarik minat saya. Seusai tandas membaca berita itu, saya scroll ke atas untuk kembali ke judul berita lain yang ditautkan tadi. Lalu saya klik tulisan biru itu. Saya baca lumat isinya. Lebay amat?! Saya coba beralih ke beberapa judul lainnya. Semua senada. Oh, ternyata saya terseret ke portal buzzer. Atau influencer? Entahlah, saya kurang paham perbedaan antara kedua istilah itu.

Nah, serta merta pikiran saya (biar dipercaya bahwa saya punya pikiran) meloncat ke komunitas yang saya berkecimpung di sana: sekolah. Dari sekian (kata "sekian" ini untuk menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya cuma segelintir) teman saya di Facebook, sebagian besar keceh di komunitas serupa: sekolah. Tidak elokkah andai kami (baca: guru) nyambi menjadi sukarelawan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sekolahnya?

Guru buzzer? Guru influencer? Kenapa tidak? Tentu, tak harus sevulgar para buzzer di kampung politik yang suka lebay dan membabi buta itu. Semua bisa dimainkan secara cantik dan elegan. Dengan sedikit sentuhan jurnalistik. Ilmunya, dong! Halhaaah, ikuti saja jalan seniman. Eksperimen. Eksplorasi. Refleksi. Revisi. Serahkan ilmunya kepada para kritikus. Lalu konversikan kritik menjadi vitamin, protein, dan karbohidrat.

Dari mana guru menggali bahan jurnalisme sekolahnya? Kan tidak setiap hari ada special event yang layak publikasi? Memang ada peristiwa yang istimewa atau tidak istimewa? Bukankah setiap peristiwa bisa menjadi istimewa atau tidak istimewa? Menurut saya, peristiwa--apa pun--bisa menjadi istimewa atau tidak istimewa. Bergantung, ia diistimewakan atau ditidakistimewakan. Di sinilah peran angle.

Dalam jurus Mas Harun Mahbub Billah, guru virtual saya, menentukan angle itu menjadi langkah pertama yang mesti diambil oleh seorang jurnalis. Dan, masih pesan Mas HMB, "Jangan selingkuh angle!"  Pemilihan angle itulah yang akan membuat peristiwa biasa menjadi sajian berita luar biasa, atau sebaliknya. 

Izinkan saya sajikan contoh.

Namanya Imron. Raut mukanya selalu dingin. Tak pernah tampak luapan ekspresi. Sudah lebih dari setengah jam ia berkutat dengan satu butir soal. Ini hari kedua pelaksanaan ujian sekolah. Jadwalnya mata pelajaran Matematika. Ia baru sampai soal nomor 3. Belum diketahui juga apakah ia berhasil mengerjakan soal nomor 1 dan 2.

Berhenti lama di satu soal itu bukan pengalaman baru baginya. Dalam ulangan harian pun kejadian serupa sudah menjadi pemandangan biasa. Ibu dan Bapak guru pun sudah hafal dengan kebiasaannya. Semua memaklumi. Tak pernah terdengar cemoohan atas ketidakmampuannya dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Justru sebaliknya, Imron lebih sering menerima pujian daripada teman-teman sekelasnya. 

"Kau hebat, Imron. Tidak pernah menyerah dalam menghadapi kesulitan," puji Bu Aminah, guru IPA-nya.

"Jujur itu prestasi yang lebih berharga daripada nilai 100 dalam ulangan. Bisa saja nilai 100 bercampur dengan kecurangan karena sebagiannya hasil menyontek. Dan Imron adalah teladan nyata dalam merawat kejujuran itu," khotbah Pak Sugeng, guru Matematika yang sudah hampir dua tahun mengajar Imron.

"Dari hasil penilaian sebaya selama sepekan ini, diperoleh data bahwa siswa paling saleh di kelas kita adalah, lagi-lagi, Imron. Dari 31 temannya, tidak seorang pun mengaku pernah terganggu oleh perilakunya. Selamat, ya, Imron. Kau layak menjadi teladan bagi teman-temanmu," guru PPKn, Bu Pancasuli mengumumkan hasil survei karakter.

Begitulah. Sekolah yang oleh sebagian kalangan dianggap elite itu ternyata cukup nyaman untuk anak-anak "kurang pintar" seperti Imron. Siswa kelas 8F itu hanya salah satu di antara berpuluh-puluh anak yang kurang beruntung dalam prestasi akademis. Untungnya, seluruh warga sekolah mereka masih peduli akan prestasi nonakademis, karakter salah satunya.

Lalu diakhiri dengan tagar begini, misal:

#smpalmahmudah
#sekolahpedulikarakter
#sekolahramahanak
#sekolahholistik

Kira-kira, (1) apa impak dari tulisan di atas jika diposkan di medsos seorang guru di sekolah Imron? (2) Bagaimana jika guru tersebut meng-tag teman-temannya? (3) Bagaimana kalau teman-teman guru tersebut menyebarkan posting-an itu melalui medsos mereka? (4) Bagaimana kalau ibu atau ayah Imron di-tag juga? (5) Bagaimana pula jika di antara para pembaca ada sekian orang tua yang sedang mencari sekolah ideal untuk anaknya yang akan lulus SD? (6) Bagaimana kalau mereka minta konfirmasi kepada ibu/ayah Imron?

Peluang dalam pertanyaan terakhir itu yang mesti diantisipasi. Hanya satu jurusnya: semua kata yang dinyatakan di dalam posting-an harus sesuai kenyataan, benar menurut fakta. Jika jurus ini terpenuhi, hampir dapat dipastikan jawaban untuk pertanyaan nomor (4) adalah beliau akan menulis kata-kata indah di kolom komentar.

Bukankah siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal ujian itu peristiwa lumrah belaka? Siapa dan apa yang bisa membuatnya menjadi istimewa? 

Pun demikian semua aktivitas sehari-hari di sekolah. Guru mengajar itu peristiwa biasa. Upacara bendera setiap Senin itu kegiatan rutin biasa. Anak-anak makan di kantin itu pemandangan klise. Dan seterusnya. Dan sebagainya. Semua rutinitas akan tampak biasa-biasa saja jika dipandang dari angle yang biasa. Memberitakan yang tersembunyi di balik cerita dan menceritakan yang tersimpan di balik berita, itulah kerja jurnalistik. 

Guru bisa meluangkan waktu sejenak di sela-sela kesibukan mengajar. Guru bisa menyisakan ruang sedikit di antara kepadatan aktivitas di medsos. Guru bisa mengambil peran sederhana untuk mengangkat trust sekolahnya. Guru bisa sekali tempo tampil bak jurnalis, berselang-seling dengan aneka posting-an berbau narsis.

Bisa kan?

2 komentar:

  1. Koq bisa ya?
    Gimana caranya bisa mendapatkan anglebyg tepat, ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya kita merasakan "getaran" kesan berbeda ketika terpapar stimulus (objek, peristiwa) yang tertangkap indra. Nah, kesan berbeda itu isyarat bahwa kognisi kita mulai "terpancing" oleh sesuatu yang layak untuk diangkat ke "daratan" wacana. Itulah angle terbaik untuk "memotret" sebuah objek. Selanjutnya kita tinggal mengobok-obok "kolam pengalaman" yang menampung segala hasil tangkapan dari interaksi kita dengan beraneka sumber pengetahuan, ilmu, dan hikmah.
      Selamat berlatih.

      Hapus