2020/11/24

Selisih yang Mulai Terasa

 

Barisan pendidik muda yang terdidik dan bertalenta

Tak terasa. Ternyata saya sudah menua. Hari ini kesan itu begitu terasa. Sontak saya ingin mengaca. Terbayang wajah saya setua Pak Wanada--yang sempat menyangka saya putra penggawa--32 tahun yang lalu, ketika saya masih berkostum putih abu-abu. Tapi jelas, hingga hari ini jiwa saya terlalu jauh untuk menyetarai kedewasaan beliau kala itu.

Hari ini saya bersila selantai dengan anak-anak muda. Profesi dan medan tugas mereka sama dengan Pak Wanada ketika itu: mendidik generasi putih abu-abu. Yang berbeda, Pak Wanada yang saya "cumbui" hari-hari itu seumur dengan bapak saya; sementara mereka yang saya "cemburui" hari ini sebaya adik jauh--atau bahkan anak--saya. 

Sehari ini mereka bersukacita, merayakan hari istimewa mereka: Hari Guru Nasional. Salah satu acaranya, lomba cerdas cermat. Gambar kiri merekam keseriusan mereka ketika tengah berpacu memperebutkan sembilan kursi finalis. Dua puluh butir soal kuis harus mereka lahap. Masing-masing memegang iPad untuk mengirim jawaban. Selain benar, mereka harus beradu cepat untuk memperoleh skor tertinggi. Di sinilah keseruannya. Sering terdengar teriakan kecewa. Sudah dipencet cepat-cepat, ternyata jawaban gagal terkirim. Koneksi internet ternyata suka pilih kasih. Apa boleh buat? Adakalanya teknologi berkhianat, menjadi trouble maker.

Gambar kanan menampilkan ke-9 jawara kuis penyisihan. Nama-nama mereka dikopyok untuk menentukan regu masing-masing: A, B, atau C. Kepada mereka disodorkan 3 x 6 soal wajib, 3 x 6 soal lemparan, dan 14 soal rebutan. Konten soal meliputi tiga subjek literasi: agama, pendidikan, dan matematika. Ada yang tidak seperti lazimnya lomba: mereka tetap tertawa lepas ketika jawabannya dinyatakan salah, bahkan hingga berdampak pengurangan skor 100 sekalipun. 

Begitulah, salah satu agenda peringatan Hari Guru Nasional tahun 2020 di SMA Islam Hidayatullah Semarang. Saya pun mendadak tertunduk lesu. Sepanjang jadi murid, tak pernah sekali pun saya mengucapkan "Selamat Hari Guru" kepada Ibu/Bapak guru saya.

Sebagai tanda penyesalan, saya tebus dosa saya itu dengan doa: Dhuh Gusti, kula suwun Paduka tansah ngluhuraken guru-guru kula, ingkang taksih sugeng menapa dene ingkang sampun kondur nyawarga langgeng. Amin.

2 komentar:

  1. Produktif. Sehari satu saja keren, makin terlatih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bisa. Dulu sempat iri dengan Prof Imam Suprayogo, yang pegang rekor MURI (3 tahun menulis tiap hari tanpa jeda). Sekarang iri dengan Abah DI, yg tiap hari tulisannya terbit di DI's Way sebelum subuh.

      Hapus