Penulis bersama Sekjen Kemdikbud, Didik Suhardi, Ph.D. |
Profesionalisme
guru menjadi topik yang tidak bisa dilepaskan dari diskursus mutu pendidikan. Tidak
bisa disangkal bahwa guru memainkan peran kunci dalam membentuk kualitas hasil
pendidikan. Gurulah pengendali proses pembelajaran yang memungkinkan standar
isi pendidikan berfungsi sebagai bahan olahan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan. Untuk menghasilkan lulusan bermutu, diperlukan proses pembelajaran
berkualitas. Untuk menjamin kualitas proses pembelajaran, diperlukan guru
kompeten.
Bertolak dari
kebutuhan tersebut, beberapa negara menerapkan seleksi yang ketat terhadap
calon guru. Di Finlandia, misalnya, seleksi calon mahasiswa pendidikan guru
dimulai dari seleksi hasil ujian matrikulasi (ujian akhir SMA), rapor SMA, dan
rekam jejak prestasi di luar sekolah. Kandidat yang lolos seleksi awal tersebut
kemudian mengikuti tiga macam tes. Pertama,
tes kognitif. Tes tulis ini menguji pemahaman calon mahasiswa tentang pedagogi
berdasarkan buku yang ditentukan. Kedua,
tes bakat. Calon mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas klinis tiruan situasi
sekolah. Kecakapan interaksi sosial dan komunikasi diamati dan dinilai. Ketiga, tes minat. Calon mahasiswa
diwawancarai, salah satu tujuannya untuk menggali motif mereka ingin menjadi
guru.
Dengan seleksi
seketat itu, tidak mengherankan bila di Finlandia, hanya para lulusan terbaik
SMA yang berhasil mendapatkan tiket masuk program pendidikan guru. Pasi
Sahlberg (2011) mencatat, sekitar 5.000 calon guru terpilih dari 20.000-an
pelamar. Bahkan, untuk program pendidikan guru SD, yang lolos seleksi hanya
sekitar satu di antara sepuluh pelamar. Di negeri salah satu top performer pendidikan ini, guru
menjadi profesi kebanggaan yang didambakan oleh para lulusan SMA, di samping
sangat terhormat di mata masyarakat.
Input yang
unggul itu kemudian diikuti sistem pendidikan keguruan yang dikelola secara
cermat. Selain matang dalam penguasaan pedagogi dan didaktik, mahasiswa calon
guru juga mendapat pengalaman praktikum yang memadai. Selama kuliah, mahasiswa
menempuh tiga tahap praktik pengalaman lapangan (PPL): dasar, lanjut, dan
final. Dalam tiap-tiap tahap PPL, para mahasiswa menjalani tiga kegiatan. Pertama, mereka mengamati pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru-guru berpengalaman. Kedua, mereka berlatih mengajar sambil diobservasi oleh guru
penyelia. Ketiga, mereka melaksanakan
pembelajaran secara mandiri di kelas yang berbeda-beda sambil dievaluasi oleh
guru penyelia dan dosen. Sahlberg menyatakan, berkisar 15 sampai dengan 25
persen waktu kuliah dihabiskan untuk mendulang pengalaman praktikum di sekolah.
Dibandingkan
keseriusan Finlandia, sistem pendidikan guru di Indonesia cukup memprihatinkan.
Dari segi prioritas minat calon mahasiswa, fakultas keguruan masih menjadi
kampus kelas dua. Langka lulusan terbaik SMA yang “berkenan” menjadikan profesi
guru sebagai cita-citanya. Kondisi itu masih diperburuk dengan sistem seleksi
yang tidak dikendalikan oleh standar minimal lolos (passing grade). Jumlah mahasiswa yang diterima ditentukan
berdasarkan daya tampung kampus. Sah-sah saja untuk dicurigai bahwa kampuslah
yang membutuhkan mahasiswa, bukan mahasiswa yang membutuhkan kampus pendidikan
calon guru.
Rekrutmen
calon mahasiswa yang ala kadarnya itu “disempurnakan” dengan sistem pendidikan
guru yang serba tanggung. “Neither fish
nor meat,” kata Mochtar Buchori (1989), mengomentari kompetensi guru yang
menyedihkan: ahli tidak, pendidik pun tidak. Kampus keguruan gagal membekali
lulusannya dengan kecakapan profesional. Bekal pedagogi mentah, penguasaan
didaktik tanggung, keterampilan pengembangan kurikulum minim.
Reformasi
pendidikan guru tengah digulirkan. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan
Guru mengisyaratkan semangat reformasi itu. Terbitnya regulasi ini layak untuk
diapresiasi. Setidaknya, Peraturan Menteri tersebut mengelaborasi dua komponen:
standar kompetensi lulusan dan standar isi. Dua komponen—standar proses dan
standar penilaian—perlu diwaspadai. Kedua komponen inilah yang akan menentukan
berfungsi atau tidaknya standar isi sebagai bekal untuk mencapai standar
kompetensi lulusan. Satu komponen lain yang tidak kalah penting untuk dicermati
adalah sistem rekrutmen calon mahasiswa. Selama seleksi calon mahasiswa masih
berbasis daya tampung (baca: kebutuhan kampus), harapan akan perbaikan itu bisa
berubah menjadi kecemasan.
Sambil menanti
perbaikan kualitas guru hasil reformasi, pembenahan kompetensi guru dalam
jabatan tidak boleh diabaikan. Guru-guru yang sudah telanjur bekerja ini
tersebar di berbagai satuan, jenjang, dan jenis sekolah di seluruh wilayah
Negara. Sebagian besar masih akan menjalani profesi guru dalam dua atau tiga dekade
ke depan. Mereka juga yang akan menjadi populasi mayoritas ketika guru-guru
gaya baru—produk standardisasi pendidikan guru, kalau efektif—mulai mengabdi di
sekolah-sekolah. Dengan status junior dan minoritas, para guru baru cenderung
mengalami kendala psikologis untuk unjuk performa maksimal.
Berbagai langkah sudah dilakukan sebagai upaya
meningkatkan profesionalisme guru dalam jabatan. Standar kualifikasi akademik
sudah dinaikkan. Semua guru harus berpendidikan S1 atau D4. Sertifikasi
profesi, yang berdampak terhadap perbaikan pendapatan guru, sudah dijalankan.
Uji Kompetensi Guru (UKG), yang konon bertujuan untuk memetakan kebutuhan akan
pengembangan keprofesian berkelanjutan, sudah dilaksanakan secara berkala.
Aneka pelatihan dengan berbagai materi oleh berbagai lembaga juga terus-menerus
diagendakan. Forum kolaborasi sejawat, melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) dan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), juga masih hidup.
Lantas, mengapa
sederet upaya tersebut tidak kunjung berdampak signifikan secara merata? Praduga
saya, program-program yang menguras energi, waktu, dan biaya itu “salah
alamat”. Tujuan luhur program-program tersebut hanya mandek di tataran das Sollen. Sedangkan di tataran das Sein, dalam banyak kasus aneka program
itu hanya ritual simbolis untuk memperoleh pengakuan aksesoris. Interaksinya
berbatas waktu, tidak sustainable.
Tentu,
fenomena salah alamat itu tidak menimpa seluruh guru sasaran program. Masih
banyak guru yang setia merawat idealisme dan serius menumbuhkembangkan
profesionalisme. Sosok guru-guru mumpuni itu silih berganti bermunculan melalui
aneka kompetisi. Keberadaan guru-guru unggul dan tangguh itu akan menyumbangkan
manfaat lebih luas jika tersedia wadah apresiasi yang memadai.
Wadah
apresiasi yang dimaksud adalah pemberian peran strategis dalam program
pembinaan profesionalisme guru sejawat. Terlalu remeh jika apresiasi guru-guru
hebat itu hanya berupa piagam dan hadiah materiel. Terlalu superfisial jika
apresiasi atas prestasi mereka sekadar maujud dalam kenaikan pangkat atau
promosi jabatan—diangkat sebagai kepala sekolah, misalnya.
Peran baru itu
mesti membuka peluang terjadinya induksi dari guru profesional kepada guru-guru
lain lintas sekolah. Di Singapura, ada guru yang berperan sebagai master teacher. Tugasnya, membimbing
guru-guru sejawat agar mampu merencanakan, melaksanakan, dan menilai
pembelajaran secara optimal. Fungsinya, memastikan setiap guru memenuhi standar
kualitas proses dan hasil pembelajaran. Sekadar catatan, guru-guru di Singapura
punya tiga jalur pengembangan karier. Guru yang unggul dalam pengelolaan
pembelajaran kelak dipromosikan menjadi master
teacher. Guru yang cakap dalam kepemimpinan diproyeksikan untuk menjadi
kepala sekolah. Guru yang punya passion
di bidang riset diberdayakan dalam tim penelitian dan pengembangan untuk
memajukan mutu pendidikan.
Konsep master teacher dapat diadopsi sebagai
solusi bagi upaya pembinaan kinerja guru. Untuk memudahkan penyebutan, saya
mengalihbahasakan master teacher
menjadi guru pamong. Seleksi guru
pamong dapat dilakukan dengan beragam teknik penilaian: tes, observasi, angket,
dan wawancara. Formasi jabatan guru pamong berbasis bidang tugas. Untuk SD ada
formasi guru pamong tiap-tiap tingkat kelas. Untuk SMP dan SMA/SMK ada formasi
guru pamong tiap-tiap mata pelajaran.
Guru pamong tidak dibebani tugas mengajar di kelas siswa. Seluruh beban jam kerjanya didedikasikan untuk “mengasuh” guru-guru sejawat. Wilayah kerjanya bisa mengikuti sistem zonasi sekolah atau menurut proporsi beban pengasuhan yang efektif, misalnya: satu guru pamong mengasuh 15 guru. Pola pengasuhan dititikberatkan pada clinical coaching individual. Coaching dilakukan melalui observasi, pemodelan, dan pendampingan. Tatap muka klasikal dilakukan hanya untuk materi yang dibutuhkan oleh semua guru asuhan.
Para guru pamong itulah yang disasar sebagai peserta pelatihan untuk penyegaran dan pemutakhiran kompetensi. Selanjutnya, mereka bertanggung jawab untuk menularkan hasil pelatihan tersebut kepada guru-guru asuhannya. Kehadiran guru pamong diharapkan dapat memecah kebuntuan pola pembinaan profesionalisme guru dalam jabatan.
*) Artikel ini telah dimuat di Kompasiana.com dan mendapat penghargaan sebagai Pemenang III dalam Lomba Artikel Pendidikan dan Kebudayaan kategori Umum oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2 Mei 2019.
Tak mipil baca
BalasHapusMatur nuwun, Pak Catur kepareng pinarak.
Hapus