2019/09/03

Review Konten Rumah Belajar dengan StT dan TtS

Me-review konten Rumah Belajar menjadi tugas tambahan dalam Virtual Coordinator Training (VCT) Batch-5. Peserta diminta me-review dua konten Rumah Belajar. Review-nya disajikan dengan menggunakan aplikasi Text to Speech (TtS) dan Speech to Text (StT). Proses pembuatan TtS dan StT direkam dengan peranti perekaman layar (screen recorder). Video hasil rekamannya diunggah ke YouTube.

Dalam menyelesaikan tugas ini, saya memilih dua (2) buku terbitan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (dahulu: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa). Buku kesatu, Jamu: Ramuan Tradisional Kaya Manfaat, merupakan buku nonfiksi karya Rifka Army. Sasaran pembaca buku ini adalah anak-anak usia SD kelas 4-6. Sedangkan buku kedua adalah buku fiksi karangan Nana Supriyana, berjudul Kids Zaman Now. Buku kumpulan tujuh (7) cerita pendek (cerpen) ini diaksudkan sebagai bahan bacaan untuk anak-anak SMA.

Untuk membuat TtS dan StT, saya memanfaatkan aplikasi daring (online) Google Translate. Adapun, perekaman layarnya saya gunakan BandiCam.


1. Jamu: Ramuan Tradisional Kaya Manfaat

Sampul depan dan belakang buku Jamu: Ramuan Tradisional Kaya Manfaat
Jamu, Ramuan Tradisional Kaya Manfaat. Buku ini  ditulis oleh Rifqa Army dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (sekarang: Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini dimaksudkan sebagai bahan bacaan literasi untuk anak SD kelas 4 sampai dengan 6. Buku berisi 3 bab utama dan satu bagian Pendahuluan. Bab I berjudul Jamu, Bab II Sejarah Jamu, dan Bab III Ramuan dan Manfaat Jamu.

Isi buku ini tergolong minimalis. Bagian Pendahuluan, misalnya, hanya berisi paparan singkat tentang pemanfaatan jamu di Indonesia. Panjangnya hanya satu halaman, terdiri atas tiga paragraf. Bab I seolah-olah hanya merupakan pengulangan bagian Pendahuluan, dengan sedikit tambahan informasi. Panjangnya pun hanya lima paragraf dan mengisi satu seperempat halaman. Bab III, yang semula saya bayangkan memuat aneka ramuan jamu berdasarkan khasiatnya, ternyata hanya memaparkan khasiat 10 macam tumbuhan jamu. Tidak dijelaskan bagaimana tumbuhan-tumbuhan itu diracik untuk menghasilkan jamu sesuai dengan khasiat yang diharapkan.

Daya tarik buku terletak pada gambar-gambar yang tampil jernih dan full colour. Gambar-gambar yang diadopsi dari foto objek langsung itu sebagian besar juga tampil full page. Bagi anak-anak usia sekolah dasar, kehadiran gambar-gambar tersebut cukup menarik perhatian. Penampilan gambar-gambar yang sempurna itu tidak mengherankan, mengingat penulis buku ini seorang sarjana Desain Komunikasi Visual. Sayangnya, gambar-gambar itu kurang informatif. Banyak gambar yang tidak disertai keterangan, padahal mereka tidak selalu megiringi teks yang bersangkutan.

Proses pembuatan StT dan TtS untuk menampilkan review atas buku Jamu: Ramuan Tradisional Kaya Manfaat dapat disaksikan dalam viedo ini.


2. Kids Zaman Now

Sampul depan dan belakang buku Kids Zaman Now
Buku ini berisi kumpulan cerita pendidikan karakter. Demikianlah label yang tercantum di sampulnya. Di dalamnya termuat tujuh cerita pendek. Masing-masing berjudul Balapan, Telat, Nge-net, Kids Zaman Now, Bonceng Mobil, Swafoto, dan Numpang Tidur.

Buku nonteks pelajaran ini dimaksudkan sebagai bacaan untuk anak SMA. Penulisnya, Nana Supriyana, jeli memilih ide cerita. Gaya hidup remaja milenial dibidik lalu dikisahkan. Ada potret remaja salah pergaulan, ada kisah remaja sadar akan tanggung jawab, ada juga remaja baik-baik yang terseret ke perilaku berbahaya demi mempertahankan kekompakan dengan teman-temannya. Tidak lupa, penulis menutup tiap-tiap cerita dengan pesan moral.
Tema-tema aktual yang lekat dengan kehidupan remaja masa kini tentu menjadi daya tarik buku ini. Diksi yang dipakai—baik pada judul maupun dalam kalimat-kalimat percakapan—juga ramah terhadap bahasa gaul anak remaja kekinian. Dengan membaca buku ini, anak-anak SMA seperti sedang bercermin. Ya, mereka diajak memantaskan diri di depan layar yang menayangkan hiruk pikuk lingkungan pergaulan mereka. Selanjutnya, tugas mereka adalah memutuskan siapa tokoh-tokoh dalam cerita-cerita tersebut yang layak dijadikan patron.

Teknik penyajian cerita menjadi kelemahan utama buku ini. Narasi yang dibangun berkesan terlalu menggurui. Perhatikan kutipan narasi berikut, misalnya.
“Aha! Aku sekarang sadar arti dari kids zaman now. Anak zaman sekarang itu adalah anak-anak yang sudah sangat dekat dengan dunia digital dan mudah mengakses ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Sekolah sudah semakin banyak dan mudah dijangkau, dunia usaha dan industri kreatif juga terbuka peluangnya bagi siapa saja. Jadi, kids zaman now adalah anak-anak yang cerdas, kreatif, dan mandiri. Bukankah orang yang berpendidikan adalah orang yang sadar dan melakukan hal yang baik, benar, dan bermanfaat?” (Halaman 40)
Pesan semacam ini tentu akan lebih elegan bila disamarkan melalui dialog antartokoh. Dengan demikian, pembaca punya kesempatan untuk mencerna, menginternalisasi, dan menyimpulkan sendiri pesan tersebut.

Kesan serupa timbul ketika pembaca sampai pada kolom pesan moral. Berikut contohnya.
Berswafotolah dengan santun dan berhati-hatilah jika ingin mengunggahnya ke media sosial. Sebagai remaja, kita mesti sadar bahwa nasihat dan kepercayaan yang
diberikan oleh orang tua harus dijaga dengan baik.” (Halaman 62)
Pembaca, apalagi anak-anak usia SMA, cenderung tidak suka dicekoki dengan dogma-dogma. Amanat cerita akan lebih mudah diterima bila pembaca dilibatkan dalam proses refleksi. Caranya? Pembaca disuguhi serangkaian pertanyaan untuk mengevaluasi (menilai, mempertimbangkan) peristiwa-peristiwa yang muncul dalam cerita. Dengan demikian, penumbuhan karakter mengikuti alur knowing, feeling, doing, dan loving the good.

Di samping itu, buku ini masih menyisakan “gangguan” pada aspek kebahasaan. Kalimat-kalimatnya sering terlalu panjang. Bahkan, kalimat-kalimat yang sebenarnya bukan satu kesatuan gagasan pun sering “dipaksakan” dirangkai menjadi kalimat majemuk. Berikut adalah salah satu contohnya.
“Pak Herman memandang saya yang duduk di ruang tunggu kantor polisi, dia menggelengkan kepala, di wajahnya ada rasa kecewa yang besar.” (Halaman 50)
Narasi itu lebih enak dibaca jika dipisah menjadi tiga kalimat; koma-komanya diganti dengan titik untuk mengakhiri kalimat.

Last but not least, kesalahan ejaan yang bertebaran di banyak halaman kiranya patut disayangkan, mengingat bahwa buku ini diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (sekarang Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apalagi, penulisan buku ini melibatkan penyunting dan telah melalui penilaian oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (pada waktu itu masih bernaung di bawah Balitbang) Kemendikbud.

TtS dan StT untuk me-review buku Kids Zaman Now dapat disaksikan dalam tayangan video ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar