Adalah Pak Amin, warga pendatang di kampung kami. Dia tinggal di rumah seorang janda. Letaknya hanya beberapa langkah dari langgar kampung. Rumah itu sudah hampir satu tahun tidak dihuni oleh pemiliknya. Sejak menderita pikun, nenek janda itu diajak tinggal bersama anak bungsunya di kampung sebelah.
Beberapa hari menjelang bulan puasa, Pak Amin mulai menyewa
rumah itu. Sebenarnya sudah agak lama dia sering datang ke kampung kami.
Awalnya dia datang mengendarai sepeda motor dengan keranjang besar di
boncengan. Seharian ia berkeliling di kampung kami dan kampung-kampung sekitar.
Sambil menjalankan sepeda motornya perlahan, sesekali ia berteriak lantang,
"Rongsok ... rongsok ...!"
Ya, Pak Amin berdagang rongsok. Ia membeli barang-barang
rongsokan dari penduduk lalu menjualnya kepada pengepul di kota. Tiap tengah
hari ia beristirahat sambil makan siang di warung Mbok Jah. Itu satu-satunya
warung makan di kampung kami. Menunya sederhana dan itu-itu saja: pecel, sayur
lombok ijo, gereh garang, dan sambal jelantah.
Di sela-sela istirahat siangnya, Pak Amin selalu menunjukkan
kegelisahan. Matanya menerawang jauh, seperti ada yang berkecamuk di
angan-angannya.
"Mbok, ... di sini kok tidak pernah
terdengar azan, ya?" celetuknya usai menyeruput teh manis buatan Mbok Jah.
"Ya nggak sampai sini, Nak,
suaranya. Lha wong masjidnya saja jauh, di kecamatan
sana," sahut Mbok Jah.
Dari Mbok Jah pula, Pak Amin mendapat informasi tentang rumah kosong yang kelak disewanya itu. Rumah itu cukup kecil, barangkali lebih tepat disebut gubuk. Dinding sisi depan terbuat dari papan, sedangkan sisi kanan, kiri, dan belakang berdinding gedek. Namun, pekarangannya lumayan luas. Di gubuk tua itulah Pak Amin tinggal bersama dua orang lelaki yang lebih muda. Konon, kedua pemuda itu masih keponakannya sendiri, yang juga bekerja sebagai tukang rongsok.
Bertiga, mereka mendirikan dua bangunan baru. Satu di belakang gubuk yang sudah
ada, beratap seng dan tanpa dinding. Di situlah mereka mengumpulkan
barang-barang bekas hasil perburuannya di kampung-kampung sekitar. Rupanya Pak
Amin sudah naik kelas menjadi pengepul rongsok, dengan dua asisten. Sepekan
sekali sebuah truk datang mengambil barang-barang rongsok yang menggunung di
gubuk belakang.
Bangunan baru lainnya didirikan di depan gubuk lama, agak
menjorok ke barat. Atapnya berbentuk limas, terbuat dari asbes. Sisi utara,
barat, dan selatan ditutup dengan seng sebagai dinding, setinggi tiga perempat
tiang. Di puncak atap dipasang dua corong pengeras suara dalam posisi saling
membelakangi. Sejak hari itulah, mulai terdengar kumandang azan di kampung
kami, lima kali sehari. Penduduk kampung hanya kaget, bengong, dan tak bereaksi
apa pun terhadap seruan lantang dari puncak bangunan baru berjuluk langgar itu.
Pak Amin dan kedua keponakannya, yang belakangan diketahui
bernama Abu dan Ali, mengubah ritme kerjanya. Pagi sampai siang mereka
berkeliling dengan sepeda motor di kampung-kampung sekitar. Zuhur mereka
pulang, menggudangkan rongsok hasil buruan setengah hari dan menunaikan salat
Zuhur. Selepas zuhur mereka kembali mengendarai sepeda motor berkeliling ke
kampung-kampung yang lain hingga menjelang asar. Usai salat Asar mereka baru
berkeliling di kampung kami.
Di kampung kami mereka tidak lagi naik motor sambil
berteriak, "Rongsok ... rongsok ...!" Mereka berjalan kaki dari rumah
ke rumah. Mereka hampiri setiap orang yang dijumpai, entah di rumah, warung,
jalan, atau kebun. Rongsok tidak lagi menjadi topik utama obrolan mereka. Ada
misi baru yang mereka emban: mengundang warga kampung untuk turut serta dalam
salat berjemaah di langgar mereka. Rata-rata warga ragu untuk memenuhi undangan
mereka. Bukan karena enggan!
"Kami tidak tahu bagaimana cara salat," jawab sebagian besar warga. "Seumur-umur kami belum pernah diajari salat."
"Tidak apa-apa," sahut Trio "A" (Amin,
Abu, Ali), "nanti tinggal mengikuti di belakang dan menirukan gerakan
kami."
Bulan puasa pun tiba. Belasan orang—laki-laki, perempuan,
tua, muda, dewasa, anak-anak—mengikuti Tarawih malam pertama. Pak Amin
bertindak sebagai imam. Abu dan Ali berjajar tepat di belakang imam. Jemaah
yang lain membentuk barisan mulai dari belakang Abu dan Ali.
"Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan Saudara-saudara nanti
silakan menirukan gerakan saya, Abu, dan Ali," Pak Amin memberikan komando
sambil mengatur barisan jemaah, dibantu oleh Abu dan Ali.
"Kalau belum tahu, tidak usah membaca apa-apa. Ketika kami mengucapkan 'amin', silakan ikut mengucapkan."
Salat Isya dimulai. Pada rakaat pertama, beberapa orang ikut mengucapkan
"amin", kendati agak terlambat. Pada rakaat kedua, makin banyak yang
ikut mengamini surat Fatihah yang dibaca imam. Pada rakaat-rakaat berikutnya
dalam salat Tarawih dan Witir, lantunan "amin" makin kompak dan
lantang. Setelah rangkaian salat usai, Pak Amin membalikkan badan, duduk
bersila menghadap ke jemaah. Mulailah juragan rongsok itu mengajarkan beberapa
kalimat bacaan salat. Jemaah menirukan berulang-ulang kalimat demi kalimat yang
diajarkan.
Jumlah jemaah pada malam kedua bertambah banyak, dan kian hari kian penuh saja langgar darurat itu. Rangkaian kegiatan pun relatif tetap: salat Isya, Tarawih, Witir, dan hafalan bacaan salat. Secara bergantian, Pak Amin, Abu, dan Ali mengajarkan cara salat: bacaan dan gerakannya. Pelajaran dimulai dengan mengulang-ulang materi hafalan sebelumnya, kemudian baru ditambah beberapa kalimat baru. Bertambah hari bertambah pula materi bacaan salat yang mereka hafal. Menjelang penghujung Ramadan, hampir semua jemaah hafal seluruh bacaan salat.
Tiga hari sebelum Idulfitri, Pak Amin berpamitan. Ia hendak mudik untuk
berlebaran bersama keluarga di kampung halamannya. Demi melanjutkan dakwah
membimbing jemaah, Abu dan Ali rela berhari raya jauh dari keluarga. Dengan
senang dan tulus hati mereka menerima amanah untuk menggantikan sang paman
membimbing para "mualaf".
Rangkaian Tarawih menginjak malam ke-28. Abu bertindak
sebagai imam. Subhanallah, bacaan surat Fatihahnya merdu sekali. Emosi jemaah
hanyut ke suasana transendental meski sama sekali tak paham arti ayat-ayat yang
mereka dengar. Sebagian jemaah dewasa mulai menitikkan air mata. Entah perasaan
apa yang mereka hayati.
"Aaabuuu ...," sahut jemaah kompak seusai imam
tuntas membaca Fatihah pada rakaat pertama salat Isya. Hanya Ali dan Abu
sendiri yang tidak memanggil Abu.
Abu paham apa yang terjadi. Pun dia yakin, hal serupa akan
berulang pada rakaat kedua. Tapi, ia memutuskan untuk melanjutkan salat hingga
tuntas. Senyum dan tangis bersenyawa di hatinya selama menghabiskan sisa
salatnya.
Tidak seperti biasanya, usai salat Isya imam langsung
membalikkan badan untuk menyampaikan pelajaran kepada jemaah. Ali, yang duduk
persis berhadapan dengan Abu, menunduk seperti menahan tawa.
"Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan Saudara-saudara, ...," Abu membuka pelajaran, "Ya, Allah, ... jika kesalahan ini harus berbuah dosa, hamba mohon bebankan dosa itu kepada kami, bukan mereka. Kami bertiga telah lalai, tidak menyampaikan petunjuk Rasul-Mu kepada mereka."
Suasana menjadi hening. Para jemaah tidak mengerti arah pembicaraan Abu. Yang
terbaca hanya ekspresi penyesalan yang tergambar di wajahnya. Setelah Abu
tuntas menjelaskan, baru mereka paham bahwa siapa pun imamnya, akhir surat
Fatihah disahut dengan ucapan "amin", bukan nama imamnya.
Jemaah gergeran menertawakan diri sendiri.
Seperti tak terusik gelak tawa mereka, Ali masih khusyuk dengan lamunannya. Sorot matanya menerawang jauh ke dunia maya. Hadir di khayalannya sosok para ilmuwan agama yang sering tampil di media sosial. Sebagian suka tampil garang bak komandan pasukan perang. Ya, perang dalil memperebutkan legitimasi kebenaran.
"Andai saja energi perang itu mereka ledakkan di pelosok-pelosok yang belum terjangkau kiprah wali sanga seperti dusun ini," batinnya, "tentu gelar wali tak akan punah dari tanah ini."
*) Tulisan ini pernah dimuat di PapanTulis Kita edisi 12 Januari 2018 dengan judul "Gara-gara Ganti Imam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar