2021/09/20

Melipatgandakan Hasil Belajar melalui Pembelajaran Kooperatif

 

Siji loro telu tangane sedheku,

mirengake Bu Guru menawa didangu.

Papat nuli lima lenggahe sing tata,

aja padha sembrana mundhak ora bisa.

Terjemahan bebas:

Satu dua tiga tangan dilipat di atas meja,

mendengarkan Bu Guru kalau ditanya/dipanggil.

Empat lalu lima duduk yang rapi,

jangan bercanda (kalau bercanda) tidak bisa (menjawab pertanyaan Ibu/Bapak Guru).

Lirik lagu berima yang singkat dan sederhana ini populer di kelas-kelas awal sekolah dasar (SD) di Jawa, setidaknya hingga 1970-an. Biasanya anak-anak menyanyikannya bersama-sama sebelum pelajaran dimulai. Rutinitas pagi tersebut menjadi pengingat agar para siswa betah duduk tenang dan rapi sepanjang pelajaran berlangsung. Hasil yang diharapkan, mereka dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan guru. Pertanyaan-pertanyaan itu dimaksudkan untuk menguji ingatan atau pemahaman para siswa atas materi pelajaran yang baru saja mereka terima.

Demikianlah gambaran suasana kelas ideal masa silam. Semua siswa duduk tenang di barisan bangku-bangku yang tertata rapi. Semua menghadap ke satu arah: papan tulis. Hampir sepanjang hari guru duduk manis di belakang meja “keramat” yang biasanya terletak di sudut depan kelas. Adakalanya, kursi guru dibuat lebih tinggi sehingga guru bisa memantau dan mengendalikan seantero kelas sambil duduk. Hanya sekali tempo guru turun dari “singgasana”, misalnya ketika harus menulis di papan tulis.

Dewasa ini, wajah kelas seperti itu sudah hampir tidak bisa dijumpai lagi. Kalaupun masih ada, barangkali tinggal tersisa di sekolah-sekolah tradisional di desa tertinggal di daerah miskin dan terbelakang. Jika penampakan kelas tradisional seperti itu masih muncul di sekolah perkotaan, dapat dipastikan gurunya tertinggal “kereta” inovasi pembelajaran. Bagi mayoritas sekolah di belahan bumi mana pun, paradigma aktivitas kelas sudah bergeser: dari pengajaran (guru mengajar) ke pembelajaran (siswa belajar), yang semula berpusat pada kehendak guru (teacher-centered) berubah menjadi berpusat pada kebutuhan siswa (student-centered).

Sejak diperkenalkan strategi Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dalam Kurikulum 1984, interaksi pengajaran satu arah (dari guru ke siswa) mulai ditinggalkan. Interaksi pembelajaran berlangsung multiarah: dari guru ke siswa, dari siswa ke guru, dan dari siswa ke siswa. Sumber belajar tidak melulu guru beserta buku teks pegangannya, melainkan segala unsur—fisik dan nonfisik—yang terjangkau oleh indra, nalar, dan intuisi siswa. Dominasi papan tulis dan bahan cetakan sebagai media pembelajaran tergantikan oleh kehadiran objek nyata atau replikanya. Ceramah lambat laun kehilangan statusnya sebagai metode utama meskipun tidak bisa dan tidak mungkin ditinggalkan sama sekali.

Salah satu pemandangan khas yang mudah dijumpai di kelas-kelas CBSA adalah kerja kelompok. Meja dan kursi siswa diatur membentuk kelompok-kelompok kerja, masing-masing beranggotakan berkisar lima orang. Dua atau lebih meja saling dirapatkan, kemudian kursi-kursi sejumlah anggota kelompok ditata mengelilinginya dalam formasi huruf O, U, atau L. Di kelompok masing-masing itulah, para siswa melangsungkan kegiatan belajar sepanjang hari, setiap hari. Kesan yang timbul, CBSA identik dengan belajar kelompok. Efektifkah belajar kelompok meningkatkan prestasi belajar siswa?

Gaung CBSA tidak berlangsung lama. Tidak sampai setengah dasawarsa, keriuhannya mulai memudar dan lambat laun nyaris lenyap sebelum implementasinya merata ke seluruh pelosok Negeri. Penataan meja-kursi kelas yang membentuk formasi kerja kelompok kian jarang dijumpai. Hanya sekolah-sekolah yang memahami anatomi belajar kooperatif secara tuntas yang masih bertahan dengan model belajar kelompok. Sementara, bagi mereka yang mengenal hanya sebatas permukaannya, CBSA melalui belajar kelompok mudah mencapai titik jenuh.

Kejenuhan itu dipicu oleh sejumlah kendala yang kelak mengantarkan guru sampai ke puncak frustrasi. Pertama, perencanaan pembelajaran dirasa lebih rumit, menguras pikiran dan waktu. Kedua, pengelolaan kelas dirasa lebih sulit, apalagi jika terdapat banyak siswa yang sulit diatur. Ketiga, teknik dan prosedur penilaian dirasa menyulitkan, utamanya untuk memisahkan penilaian individu dari penilaian kelompok. Keempat, hasil belajar siswa cenderung merosot, utamanya mereka yang mengidap kesulitan belajar.

Patut diduga, serangkaian kendala tersebut timbul akibat pelaksanaan belajar kelompok tidak dibarengi pemahaman yang utuh mengenai sintaksisnya. Frasa “belajar kelompok” sendiri cenderung menimbulkan simplifikasi pesan. Guru yang kurang minat belajarnya akan mudah terjebak pada kesimpulan prematur bahwa yang penting siswa belajar secara berkelompok. Apa yang mesti diperoleh siswa melalui pembelajaran tersebut dan bagaimana memperolehnya tidak menjadi perhatian. Alhasil, penerapan strategi belajar kelompok menyimpang jauh dari konsep yang diadopsi, yakni pembelajaran kooperatif (cooperative learning).

Malapraktik seperti itulah yang oleh Kagan (1999) ditengarai sebagai pemicu berbagai kerugian yang dirasakan oleh sebagian kalangan sehingga melahirkan penolakan atau keberatan terhadap pembelajaran kooperatif. Tidak tanggung-tanggung, penggagas dan pengembang ratusan model pembelajaran kooperatif itu mencatat 17 kerugian yang timbul akibat penerapan strategi pembelajaran kooperatif dan dijadikan alasan untuk menolaknya.

Seperti lazimnya sebuah inovasi, pembelajaran kooperatif tidak serta merta menjamin tercapainya hasil yang memuaskan. Ibarat senjata, maka keampuhan pembelajaran kooperatif sangat bergantung pada kepiawaian the man behind the gun. Kagan menyebut enam kompetensi yang wajib dimiliki guru untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kooperatif secara efektif. Enam kompetensi yang ia sebut sebagai kunci sukses pembelajaran kooperatif tersebut meliputi keterampilan teknis terkait dengan bagaimana guru (1) membentuk dan membangun tim; (2) menumbuhkan kemauan bekerja sama di antara para siswa; (3) mengelola kelas kooperatif; (4) menumbuhkembangkan keterampilan sosial; (5) memastikan adanya saling ketergantungan secara positif, tanggung jawab individual, partisipasi yang merata dan setara, dan interaksi secara simultan; dan (6) mengatur struktur interaksi antaranggota kelompok untuk memaksimalkan beragam hasil yang positif.

Jika enam kunci tersebut—semua atau sebagian—diabaikan, hampir dapat dipastikan bahwa pembelajaran kooperatif akan menuai kegagalan dan berujung frustrasi. Sebaliknya, jika keenam kompetensi kunci tersebut dikuasai dengan baik, siswa akan memetik setidaknya 17 manfaat dari pembelajaran kooperatif yang dipraktikkan oleh gurunya. Tidak melulu prestasi akademik, hasil belajar yang diperoleh siswa juga merambah berbagai kecakapan hidup (life skills) yang diperlukan dalam dunia sekolah maupun dunia kerja.

Berikut adalah 17 manfaat yang dirangkum dari hasil riset, baik yang dilakukan oleh Kagan sendiri maupun oleh pihak lain. Pertama, prestasi akademik siswa meningkat, apa pun belakang mereka: anak berkebutuhan khusus, cerdas, atau berbakat; anak kota atau desa; dari kelompok ras/etnis apa pun. Kedua, kerukunan antarras/etnik meningkat berkat pembiasaan kerja sama dalam tim heterogen.

Ketiga, harga diri siswa meningkat lantaran mereka mampu menyelesaikan tugas-tugas akademik secara lebih baik dan diterima oleh teman-teman sebayanya. Keempat, empati para siswa meningkat karena pembelajaran kooperatif melatih mereka bertenggang rasa, memahami, dan berempati kepada orang lain. Kelima, sejumlah keterampilan sosial berkembang: menjadi pendengar yang baik, menunggu giliran secara tertib, menyelesaikan konflik, memimpin dan dipimpin, bekerja sama dalam tim.

Keenam, relasi sosial mengalami kemajuan pesat, sebagai akibat logis dari kebiasaan mereka untuk saling menerima dan saling peduli. Ketujuh, iklim kelas menjadi kondusif: para siswa makin mencintai sekolah, kelas, mata pelajaran, dan guru. Kedelapan, tanggung jawab siswa terbentuk karena siswa terbiasa mengambil prakarsa atas apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya lalu bertanggung jawab atas hasil belajar yang diperoleh.

Kesembilan, kebinekaan makin diterima sebagai keniscayaan karena dalam tim anak-anak terbiasa bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda dari dirinya sendiri. Kesepuluh, keterampilan berpikir tingkat tinggi makin terasah oleh interaksi dengan beragam informasi dan beragam cara pandang dalam menafsirkan informasi yang sama. Kesebelas, tanggung jawab pribadi berkembang pesat karena pembelajaran kooperatif menuntut setiap siswa berkontribusi, tidak ada celah untuk menghindar.

Kedua belas, kesetaraan hak partisipasi terwujud karena semua siswa mendapat giliran secara merata untuk berbagi peran. Ketiga belas, kesempatan siswa untuk berpartisipasi berlipat ganda karena dalam kelompok kecil setiap siswa punya jatah waktu partisipasi yang lebih lama daripada dalam pembelajaran klasikal. Keempat belas, orientasi sosial berubah ke arah positif lantaran siswa memandang teman-temannya sebagai mitra kerja sama, bukan pesaing untuk saling mengalahkan seperti dalam pembelajaran tradisional.

Kelima belas, orientasi belajar berubah dari belajar untuk mengejar nilai menjadi belajar untuk mencintai pekerjaan, menaklukkan tantangan dalam rangka menggapai tujuan, dan saling menghargai antarteman. Keenam belas, pemahaman diri dan kesadaran diri meningkat karena melalui interaksi yang intens siswa dapat mengenali apa reaksi teman-temannya terhadap setiap sikap dan perilakunya. Ketujuh belas, keterampilan dunia kerja terasah karena siswa terlatih bekerja dalam tim, mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja abad ke-21 yang semakin kompleks dan menuntut kerja tim yang saling tergantung.

Dengan pembelajaran kooperatif, hasil belajar siswa menjadi berlipat ganda.


Referensi:

Haidir dan Salim. 2012. Strategi Pembelajaran. Medan: Perdana Publishing

USAID Cambodia. Cooperative Learning: Theory & Practice. Phnom Pen: Campuchean Action for Primary Education

Afandi, Muhamad, Evi Chamalah, dan Oktarina Puspita Wardani. 2013. Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah. Semarang: Unissula Press

Cohen, Elizabeth G, Celeste M. Brody, dan Mara Sapon-Shevin (ed.). 2004. Teaching Cooperative Learning: the Challenge for Teacher Education. New York: State University of New York Press

Kagan, Spencer and Miguel Kagan. 2009. Kagan Cooperative Learning. California: Kagan Publishing

Kagan, Spencer. 1999. Cooperative Learning: Seventeen Pros and Seventeen Cons Plus Ten Tips for Success. Diunduh pada 21 Juli 2021 dari https://www.kaganonline.com/free_articles/dr_spencer_kagan/259/Cooperative-Learning-Seventeen-Pros-and-Seventeen-Cons-Plus-Ten-Tips-for%E2%80%A6


Tidak ada komentar:

Posting Komentar