2021/10/08

Bara di Tengah Dingin yang Beku

 

Gunung Semeru (sumber: Kompas.com)
"Alhamdulillah. Terima kasih, Pak, pencerahannya. Sedikit demi sedikit pikiran saya jadi terbuka. Insyaallah, saya menunggu pelatihan jilid 2-nya, Pak."

Begitu, sepenggal kesaksian lugas Bu Farida. Nama lengkapnya, Farida Umaternate. Bu Guru dari Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara ini menjadi salah satu peserta pelatihan menyusun soal HOTS (Higher Order Thinking Skills). Pelatihannya berlangsung secara daring melalui salah satu platform media sosial. Jumlah pesertanya 104, terdiri dari guru-guru se-Nusantara. Ada guru PAUD, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Ada pula yang berasal dari yayasan dan balai diklat. Mungkin mereka widyaiswara, instruktur, atau semacamnya.

Pernyataannya yang dikutip di awal tulisan ini menjadi salah satu saksi atas ketangguhan Bu Farida. Persaksian tulus dan lugas itu ditulis menanggapi umpan balik narasumber pelatihan, dua hari setelah pelatihan berakhir. 

Pada sesi terakhir pelatihan selama 3 x 3 jam itu, narasumber memberikan tugas praktik menyusun satu butir soal HOTS, lengkap dengan indikator soalnya. Namun sayang, hanya satu dari enam pekerjaan peserta yang sempat dikupas bersama di kelas daring itu. Lima yang lain dikupas sendiri oleh narasumber dan dikirimkan langsung kepada peserta yang bersangkutan. Salah satunya, Bu Farida. Ini menjadi saksi lain yang membuktikan ketangguhan Bu Guru di SMP Negeri Satu Atap Sanana itu. Dari 104 orang peserta, hanya 6 yang mengerjakan tugas. Bu Farida salah satunya.

Masih ada bukti lain lagi. Dalam setiap sesi, tidak sampai sepuluh jumlah peserta yang aktif (online). Dan, lagi, Bu Farida menjadi salah satu dari yang terlalu sedikit itu. Padahal kelas pelatihan berlangsung pada pukul 18.00--21.00 WIB. Berarti, pukul 20.00--23.00 di tempat tinggal Bu Farida. Kemauan dan semangat Bu Farida bagaikan bara yang tak mau padam di tengah kebekuan kelas pelatihan yang dingin keterlibatan peserta itu.

Memang, seperti sudah menjadi tradisi, mayoritas peserta pelatihan yang diselenggarakan oleh sebuah komunitas guru berskala nasional itu cenderung pasif. Jumlah peserta selalu membeludak, tetapi suasana kelas sunyi, minim keterlibatan aktif mereka. Padahal mereka harus membayar untuk bisa ikut. Atau jangan-jangan masih terawat dengan baik pragmatisme lama itu: membayar = terdaftar = lulus = sertifikat?

Jika betul jurusnya demikian, revolusi mental yang digaungkan Presiden ketika mengawali jabatannya dulu itu masih jauh panggang dari api. Betapa tidak! Agen utama revolusi mental itu pendidikan. Dan guru adalah aktor utama pendidikan. Jika "yang penting sertifikat" masih menjadi paradigma yang dipegang teguh oleh guru dalam meniti karier, tidak mustahil tanggung jawab terhadap murid pun sebatas "yang penting ijazah".

Guru bermental tangguh dan menyadari kebutuhannya akan pengembangan kapasitas seperti Bu Farida tak layak untuk tidak diapresiasi. Wujud apresiasinya tidak harus--bahkan, tidak perlu--berupa materi. Pun bukan sekadar puja-puji basa-basi. Ada kebutuhan yang lebih penting bagi mereka: fasilitasi dalam upaya mengembangkan kompetensi.

Pemerintah daerah mesti mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih besar dan lebih serius. Guru-guru bermental pejuang itulah yang layak menyandang predikat dan peran sebagai guru penggerak. Prakarsa untuk terus mengembangkan diri itu mesti diberdayakan untuk menggerakkan, memprovokasi rekan-rekan sejawatnya. Pergerakan dari, oleh, dan untuk guru itu akan semakin kuat daya imbasnya jika disokong good will pemerintah daerah.

Kabupaten Gowa layak disebut sebagai best practice dalam hal ini. Spirit perjuangan para guru untuk maju bersama, didukung oleh sikap tut wuri handayani-nya Pemerintah Kabupaten, berhasil memantapkan gerak langkah mereka dalam wadah Pusat Belajar Guru (PBG). Tentu, keterlibatan dan kontribusi Putera Sampoerna Foundation melalui program School Development Outreach-nya  memberikan asupan gizi yang sangat berarti.

Salut untuk Pak Abdulkarim Tahir, lokomotif komunitas guru-guru inspiratif luar biasa di Sulawesi Selatan itu. Last but least, terima kasih kepada Bu Jumaena Syam, guru inti yang telah membawa saya mengenal PBG Gowa.

Tabik.

1 komentar:

  1. Terima Kasih sudah dicolek Kang.
    Tulisan yang keren. Saya sepakat kang, predikat guru penggerak bukan hanya untuk guru-guru yang ikut program pemerintah melalui PGP tetapi guru-guru yang senantiasa berusaha memperbaiki kualitas dirinya dan mengembangkan orang lain. Terima kasih apresiasinya. Banyak Ibu Farida lain di Indonesia yang membutuhkan apresiasi, semoga dengan tulisan ini semakin banyak yang terketuk.

    BalasHapus