2019/06/25

Ulah Radikal dalam Merawat Kompetensi Guru

Menggemaskan! Itu kesan saya tentang modus pendidikan di negeri tetangga. Tetangganya Timor Leste. Betapa tidak? Ups, tahan dulu. Nanti saja narasinya. Di paragraf ujung sana. Atau di ujung tulisan ini.

Dua pekan terakhir ini saya berkutat dengan koreksi soal. Aneh, memang. Lazimnya, yang dikoreksi jawabannya. Kok, ini soalnya? Begitulah. Eh, belum. Baru begini. Maksudnya, begini ceritanya.
Seperti dalam catatan HOTS yang Lagi Hot #1 dan #2, pada 26 Januari lalu  saya menerima titah. Menemani teman-teman belajar membuat soal HOTS. Lengkapnya: soal tes tulis yang menguji keterampilan berpikir aras lebih tinggi (higher order thinking skills atau HOTS). Kegiatannya bertajuk coaching. Saya juga kewalahan menemukan padanan yang pas untuk kata coaching itu. Di kamus pernah saya temukan arti coach: kereta yang ditarik oleh empat kuda. Semacam kereta kencana tunggangan Prabu Kresna, barangkali. Yang turut berjasa dalam perang agung Bharatayudha itu.

Saya menyanggupi. Dalam hati, saya bimbang. Pihak mana yang kelak tidak betah: peserta atau coach-nya? Karena saya ingin benar-benar seperti delman carteran itu. Mengantarkan penumpang hingga ke alamat masing-masing. Targetnya paten: mahir membuat soal HOTS. Dan sejak awal saya sadar. Alamat peserta berbeda-beda. Ada yang dekat, ada yang jauh. Jalan yang mesti dilalui pun tidak sama. Ada yang lurus, ada yang berkelok. Medan yang harus ditempuh beragam pula. Ada yang datar, ada yang terjal.

Andai kegiatannya berbayar, saya akan cukupkan dengan satu kali pertemuan. Yang berlangsung setengah hari itu saja. Kalau diperpanjang, kasihan yang mbayari. Namun, saya sadar (tumben, ya?). Saya tak bisa berbuat banyak. Untuk negeri saya (karena saya pegawai swasta, bukan negeri). Pun untuk wilayah administratif yang lebih sempit. Bahkan, untuk yang paling sempit sekalipun. Kecipratan amanah selingkung ini saja, sudah anugerah luar biasa.

Saya membulatkan tekad: mengusiri (bentukan dari kusir, bukan usir) coaching hingga tuntas. Dan saya benar-benar menjalankan fungsi kusir: hanya mengendalikan arah. Agar tidak ada penumpang yang tersesat. Sedangkan laju kereta ditentukan oleh power para kuda. Tentu, juga dipengaruhi stamina penumpang: seberapa teguh (bukan nama saya; maka, t-nya tidak kapital) hasrat mereka untuk mencapai alamat. Asli, tentu. Bukan alamat palsu.

Alamat yang sering palsu itulah, yang selalu dan sedang saya gugat. Keterampilan merancang, membuat, dan menyajikan instrumen penilaian hasil belajar itu mestinya sudah tuntas. Di-coach-kan di bangku sekolah. Sebelum (maha)siswa bakal calon guru ditahbiskan sebagai calon guru. Dengan seremoni segala rupa. Jauh sebelum digelar ritual penyematan lencana profesional. Apriori, memang. Bisa jadi, itu fitnah belaka. Mendiskreditkan para (maha)guru. Yang bertahun-tahun menempa teman-teman saya itu. Dengan segenap ketulusan jiwa.

Di akhir pertemuan, saya memberikan tugas: membuat dua butir soal. Lengkap dengan kisi-kisinya. Beserta kunci jawaban dan pembahasannya juga. Disetor melalui surel (surat elektronik; padanan email). Karya yang sudah dikirim saya periksa. Saya beri catatan-catatan. Penanda kesalahan dan petunjuk perbaikannya. Lalu saya kirim balik kepada si empunya soal. Untuk diperbaiki. Hasilnya disetor kembali kepada saya. Saya periksa lagi, coret-coret lagi, kirim balik lagi. Begitu seterusnya. Hingga nihil kesalahan. Setidaknya, menurut kacamata saya. Bila sudah beres, baru saya akan memberikan tugas berikutnya.

Entah. Sampai kapan proses ini akan berlangsung. Sekali lagi, stamina teman-teman menjadi faktor dominan. Saya sih asyik-asyik saja. Merunut relevansi indikator soal dan kompetensi dasar rujukannya. Meraba-raba konstruksi soal yang dikehendaki indikatornya. Mengukur level kognitif yang teruji. Mencermati kejelasan dan fungsi stimulus soalnya. Mencerna keterbacaan bahasa yang digunakan. Menimbang-nimbang kelogisan dan homogenitas opsi-opsi jawabannya. Memprediksi peluang terjadinya multitafsir. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Ketika menjumpai kesalahan, sepele maupun fatal, saya anggap itu proses bagi teman-teman saya. Ya, mengetahui yang salah itu sering menjadi pengalaman berharga. Tahapan yang bermakna dan berdampak terhadap langkah selanjutnya: menjadi bisa menghasilkan yang benar. Sementara, bagi saya, kesalahan-kesalahan itu adalah ilmu autentik. Rambu-rambu yang menyuguhkan petunjuk: apa yang mesti saya lakukan. Jika sikap menerima kesalahan sebagai anugerah ini terus dijaga oleh kedua pihak, saya yakin: semua akan sampai pada alamat. Dengan selamat. Layak untuk dirayakan. Berhak atas sambutan suka cita.

Saya hanya kusir. Menarik tali kendali untuk memastikan arah menuju alamat. Memecut bila kuda menunjukkan gejala salah arah. Itu yang mengejawantah dalam notasi pada karya teman-teman. Saya tidak memberikan angka atau huruf sebagai simbol nilai. Tidak ada rapor. Tanpa ijazah, sertifikat, maupun piagam. Tidak juga berpengaruh terhadap penilaian kinerja. Seluruh proses itu menuju muara tunggal yang murni: memenuhi standar kompetensi guru. Dalam hal ini, kecakapan merancang, membuat, dan menyajikan alat penilaian yang akuntabel.

Kelayakan teknik dan alat penilaian hasil belajar, memang, selalu menjadi perhatian saya. Maklum, saya penghayat aliran kepercayaan: bahwa wajah penilaian adalah cermin untuk melihat rupa pembelajaran. Apa yang dinilai guru, menggambarkan apa yang diajarkan kepada siswa. Bagaimana guru menilai, mencerminkan bagaimana ia mengajar siswanya.

Modus saya dalam upaya merawat salah satu kompetensi teman-teman guru ini, boleh jadi terbilang radikal. Coaching tak berbatas tempat dan waktu, itu radikal. Pelatihan tanpa berujung sehelai sertifikat, itu radikal. Yang lebih radikal lagi: coach-nya tidak mengantongi sertifikat instruktur halal. Yang paling radikal: coach-nya berpendidikan lebih rendah daripada seluruh trainee-nya.

Kepada Ibu/Bapak (maha)guru pendadar para (calon) guru, saya mohon izin untuk melunasi utang Ibu/Bapak: mengantarkan teman-teman saya mencapai kemahiran dalam mengurus penilaian hasil belajar anak-cucu kita. Ibu/Bapak sudah berjasa besar: menanam benih-benih kompetensi itu. Melalui mata pelajaran/kuliah yang Ibu/Bapak ajarkan. Saya hanya membantu merawatnya. Agar benih-benih itu tumbuh menjadi tunas. Agar tunas-tunas itu bertumbuh berbatang berdaun berbunga dan berbuah (sengaja, saya tidak membubuhkan koma pada pemerian dalam kalimat ini; agar masih dikenali sebagai manusia: bisa dan biasa salah).

Nuwun. Pareng.

Sumber: https://kang-gw.blogspot.com/2019/02/ulah-radikal-dalam-merawat-kompetensi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar