Cobalah berkunjung ke situs web sebuah perusahaan produsen mobil. Apa yang Anda dapati? Beralihlah ke situs web sebuah perusahaan produsen batik. Apa yang Anda dapati? Beralihlah lagi ke situs web sebuah perusahaan waralaba kedai kopi. Apa yang Anda jumpai? Lalu beralihlah ke situs web sebuah organisasi sosial. Apa yang Anda jumpai?
Mengunjungi situs pabrikan mobil, kita disuguhi informasi
seputar mobil-mobil produksinya, lengkap dengan iming-iming untuk membeli mobil-mobil
tersebut. Mengakses situs industri batik, mata kita dimanjakan dengan berbagai
produk batik dalam aneka motif, lengkap dengan tawaran untuk membelinya.
Membuka situs waralaba kedai kopi, kita dikenalkan dengan sejumlah varian
minuman berbasis kopi, lengkap dengan rayuan untuk mencicipinya. Menyambangi
situs organisasi sosial, kita diberitahu tentang kegiatan sosial yang telah,
sedang, dan akan mereka lakukan. Adakalanya, melalui situs webnya, organisasi
sosial juga mengundang pengunjung untuk berpartisipasi dalam berbagai bentuk
untuk mendukung kegiatan mereka.
Situs web berfungsi sebagai showroom, galeri, warung,
atau buletin virtual bagi organisasi—komersial maupun nirlaba. Dapat
dipastikan, masing-masing menyajikan informasi menyangkut inti bisnis (core
business) mereka sebagai konten utama. Adalah wajar dan masuk akal bila situs
web sebuah hotel dipenuhi oleh informasi tentang berbagai layanan akomodasi
yang mereka tawarkan kepada calon tamu. Memang itulah inti bisnis mereka.
Inti Bisnis Sekolah
Apa yang menjadi core business sekolah? Pertanyaan
ini sempat membuat seluruh audiens tergagap-gagap ketika dilontarkan dalam
sebuah forum yang diikuti oleh para pelaku “bisnis” sekolah. Rupanya mereka
tidak menyadari bahwa sekolah adalah sebuah organisasi bisnis. Atau, lebih
tepatnya, kata “bisnis” telah mengalami (baca: menderita) penyempitan makna. Tampaknya
mulai dilupakan bahwa business berasal dari busy+ness (kesibukan;
sesuatu yang membuat sibuk; urusan).
Pendidikan dan pembelajaran adalah inti bisnis sekolah, apa
pun jenjang, jenis, dan statusnya. Dengan demikian, apa yang selayaknya menjadi
sajian utama konten situs web sekolah? Ya, tentu, kegiatan pembelajaran atau pendidikan
yang berlangsung di sekolah yang bersangkutan. Hanya kegiatan pembelajaran?
Bukankah itu sekadar kegiatan rutin harian sekolah? Di mana keistimewaannya?
Inkonsistensi paradigma inilah, tampaknya, yang menjadi musabab
sepinya unggahan konten baru di mayoritas situs web sekolah. Inti bisnisnya proses
pembelajaran, tetapi yang dipamerkan (baca: dijajakan) justru hanya “laba”
insidental. Murid menjuarai kompetisi di bidang sains, teknologi, olahraga, atau seni itu
memang membanggakan. Wajar-wajar saja prestasi segelintir murid itu menumbuhkan
kebanggaan kolektif. Bahkan, diklaim sebagai prestasi institusional pun sah-sah
saja, sekalipun belum tentu prestasi mereka itu produk sekolah.
Sekolah digelari predikat tertentu, dinobatkan sebagai ini-itu,
menyandang aneka label bertuah, itu memang prestisius. Sekolah menjadi objek
kunjungan sekolah-sekolah lain, namanya sering disebut-sebut oleh petinggi, itu
juga membesarkan hati. Merayakan hari-hari besar dan bersejarah secara meriah,
menghadirkan tokoh-tokoh penting dan kalangan pesohor yang berpengaruh, itu pun
bisa efektif mengatrol nilai jual sekolah.
Pertanyaannya, apakah segala kemewahan dan kemegahan itu
benar-benar menjawab kebutuhan pelanggan? Betulkah lambang-lambang kejayaan itu
yang ditawarkan kepada (baca: dijanjikan untuk dinikmati) semua calon pelanggan
sehingga hati mereka terpikat kepada sekolah? Berapa persen murid yang berhasil
memboyong piala, berkalung medali, atau menggamit piagam prestasi di luar
sekolah selama mereka menempuh pendidikan di situ? Seberapa besar dampak
simbol-simbol prestise itu terhadap pengayaan pengalaman belajar semua murid?
Storynomics
Anda mungkin pernah mendapati sebuah warung makan yang
letaknya tidak terbilang mudah dijangkau, tetapi tidak pernah sepi pengunjung.
Pelanggannya datang dari berbagai penjuru, yang dekat dan yang jauh. Padahal,
inti bisnisnya sama dengan rumah-rumah makan yang bertebaran di sepanjang jalur
utama: makanan dan minuman.
Dapat ditebak, warung di pelosok itu memiliki keistimewaan:
cita rasanya, pelayanannya, model penyajiannya, teknik memasaknya, suasananya, harganya,
atau entah apanya yang lain. Cukupkah unsur-unsur objektif itu untuk menjelaskan
teka-teki: mengapa warung tersebut selalu ramai? Betapa pun istimewanya, mungkinkah warung di pelosok tersebut mampu menyedot minat para maniak kuliner dari
berbagai penjuru tanpa kehadiran cerita seru?
Pasti di balik serbuan pengunjung itu ada cerita yang tersiar luas. Bisa jadi, pengunjung
yang mula-mula kesengsem dengan warung itu menceritakan pengalamannya kepada
kerabat, tetangga, sahabat, atau koleganya. Para penerima cerita penasaran untuk
merasakan pengalaman serupa. Mendapati bukti yang membenarkan cerita yang
diterima sebelumnya, mereka tak segan menceritakan pengalaman kuliner barunya
kepada teman, sanak saudara, kenalan, dan siapa saja.
Fakta objektif tentang warung itu data yang bisa diamati. Pengalaman
empiris pengunjung itu data yang bisa dikonfirmasi. Apakah data lugu yang dinarasikan
sambil lalu saja cukup ampuh untuk memengaruhi audiens sehingga
berbondong-bondong ingin mencicipi pengalaman serupa? Bagaimana para influencers
menceritakan fakta objektif dan pengalaman empiris itu kepada orang-orang yang
kelak secara sukarela menjadi followers mereka? Bayangkan diksinya,
intonasinya, ekspresinya.
Dramatis! Inilah kunci storynomics: mendramatisasi
data. Datanya empiris-faktual: objektif. Gaya penyajiannya yang dikemas secara
dramatis-emosional: subjektif. Keterlibatan emosi itulah yang membangun rekognisi
audiens: “Yes, ini yang saya butuhkan!”
Begitu pula proses pembelajaran di sekolah. Menunya sama
dari hari ke hari: pembelajaran, belajar, pelajaran. Guru mengaransemen kegiatan
pembelajaran. Murid—sering, guru juga—belajar: mendulang pengalaman. Rantai
pengalaman membentuk kesadaran metakognitif: pelajaran berharga.
Penceritaan proses pembelajaran, belajar, hingga pemerolehan
pelajaran berharga itulah data autentik yang layak disajikan sebagai bukti
pengejawantahan brand (visi, misi, dan prestasi) sekolah. Menjual brand
tanpa data autentik, sama dengan membual. Menjual data autentik tanpa cerita
pemantik keterlibatan emosi, sama saja menjejal otak audiens dengan informasi
hambar yang bikin cepat mual.
Media
Pada masa amat lampau, cerita berantai itu meluas melalui
penceritaan lisan—dari mulut ke mulut. Pada masa berikutnya, cerita itu
menyebar lewat pemberitaan media massa—cetak atau elektronik. Pada masa
sekarang? Media sosial! Teknologi digital!
Data autentik yang dikemas dalam cerita apik itu dijadikan konten
yang konsisten dan hadir sesering mungkin di situs web sekolah. Konsistensi konten
dan kerapatan jeda antara unggahan terdahulu dan unggahan berikutnya itu akan
berpengaruh terhadap persepsi pengunjung atau pembaca. Di sinilah persepsi terbentuk:
apakah proses pembelajaran yang memperkaya pengalaman belajar dan menjelma
pelajaran berharga itu merupakan identitas kolektif sekolah atau hanya
peristiwa kasuistik insidental.
Pekerjaan berikutnya adalah memviralkan konten situs web. Admin
web tinggal mengirimkan alamat tautan kepada seluruh guru dan pelaku bisnis
sekolah lainnya. Selebihnya, berikan kepercayaan kepada mereka untuk memainkan
perannya sebagai school marketers dengan meneruskan alamat tautan konten
cerita inspiratif, edukatif, dan menghibur itu kepada khalayak: pelanggan dan
calon pelanggan.
Tabik.
Top tenan ini Mas..
BalasHapus