Idiom “Merdeka Belajar” menuai popularitas sejak menjadi tagar pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim, pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2019. Dalam pidato—yang video rekamannya sudah tersebar luas sehari sebelumnya dan ditayangkan pada Upacara Bendera pada 25 November 2019—itu Mendikbud menutupnya dengan pekik, “Merdeka belajar, guru penggerak!”
Secara lugas, pidato singkat
tersebut membeberkan tujuh “aib” pendidikan yang merenggut tujuh kemerdekaan
guru: (1) banyaknya aturan yang, alih-alih menawarkan pertolongan, mengekang prakarsa
guru untuk menunaikan tugasnya membentuk masa depan Bangsa; (2) padatnya tugas
administratif yang merampas kesempatan guru untuk membantu murid yang
tertinggal; (3) desakan untuk mengejar angka nilai hasil ujian yang mengerdilkan
tanggung jawab guru dalam mengembangkan potensi murid; (4) padatnya kurikulum
yang menutup pintu petualangan guru untuk mengajak murid belajar dari dunia nyata
di sekitarnya; (5) pengarusutamaan kemampuan menghafal yang memadamkan prakarsa
guru untuk mengasah kemampuan murid dalam berkarya dan berkolaborasi sebagai
bekal meraih sukses di dunia nyata; (6) doktrin keseragaman yang menafikan kewajiban
guru untuk mengakomodasi keberagaman kebutuhan murid; dan (7) minimnya
kepercayaan untuk berinovasi yang membunuh hasrat guru untuk menginspirasi
murid.
Ketujuh potret kontradiktif
antara das Sollen dan das Sein peran guru itulah yang diakui
Menteri Nadiem pada bagian awal pidatonya, “Guru Indonesia yang tercinta, tugas
Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit.” Untuk mengembalikan
kemerdekaan yang tergadai itu, tidak ada tebusan lain kecuali membuat
perubahan. Namun, Nadiem juga mengakui bahwa perubahan adalah hal yang sulit
dan penuh dengan ketidaknyamanan. Menghadapi dilema tersebut, Mendikbud pun
hanya menjanjikan satu hal: akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di
Indonesia.
Langkah pertama perjuangan
memerdekakan belajar dituangkan dalam empat pilar kebijakan: (1) penghapusan
Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN); (2) penghapusan Ujian Nasional (UN);
(3) penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); dan (4) revisi
sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Dari empat pokok kebijakan
tersebut, tiga yang pertama didedikasikan kepada guru. Ketiganya merupakan “mahar”
untuk menebus tujuh kemerdekaan guru yang tersandera tersebut.
Penghapusan USBN dan UN mengusung
spirit pembebasan guru dari malapraktik penilaian. Bukan rahasia lagi, UN dan
USBN telah menyeret sekolah beserta seluruh entitasnya ke “panggung sandiwara”
pendidikan. Pengalaman belajar siswa yang dijalani bertahun-tahun direkam hanya
berdasarkan jejaknya dalam ujian pada hari-hari terakhir di penghujung masa belajarnya
di sekolah. Hasil belajar siswa ditakar hanya berdasarkan kemampuannya menjawab
soal-soal tes kognitif yang, bahkan, didominasi keterampilan berpikir tingkat
rendah.
Penghapusan UN/USBN bukan target
akhir, melainkan titik tolak untuk memulai perubahan. Amanat yang tersirat
adalah rehabilitasi penilaian. Sebagai penilaian sumatif, UN/USBN mustahil
memenuhi fungsi penilaian sebagai umpan balik untuk memperbaiki pembelajaran.
Sayangnya, desain UN/USBN sering dijadikan patron penilaian kelas, yang
semestinya bersifat formatif. Berbeda dari penilaian sumatif yang cenderung semu
dan superfisial, penilaian formatif semestinya lebih autentik dan substansial.
Ide penyederhanaan RPP menyiratkan
semangat untuk memangkas pemubaziran sumber daya dalam mengerjakan tugas-tugas administratif.
Format RPP yang dibakukan (atau, jangan-jangan “baku” itu hanya mispersepsi?) memang
memuat sejumlah komponen yang memicu duplikasi dan narasi klise. Alhasil, RPP—yang
semestinya digarap secara saksama untuk menghasilkan desain pembelajaran yang aplikatif
dan kontekstual—terjebak pada selera basa-basi dan formalitas. Rutinitas kerja
mekanistik itu dalam jangka panjang berpotensi melumpuhkan daya cipta guru.
Kapasitas intelektual lambat laun kian menyusut akibat kelangkaan rangsangan
untuk berpikir secara radikal.
Penyederhanaan RPP berpotensi
menimbulkan miskonsepsi. Perlu ditegaskan, yang disederhanakan adalah format
dan posturnya, bukan rancang bangunnya. Sebagai manual acara pembelajaran, RPP
justru harus dielaborasi sehingga menampakkan kohesi dan koherensi antara
tujuan, cara mencapainya, dan alat ukur pencapaiannya. Tiga komponen inti RPP—tujuan,
kegiatan, dan penilaian pembelajaran—inilah yang lebih berhak untuk menguras pikiran,
tenaga, dan waktu guru. Sedangkan unsur-unsur aksesorinya halal untuk
dihilangkan.
Akibat dorongan watak humanistik
yang terlalu dominan, barangkali, penyelia atau supervisor sering mengambil
sikap permisif atau toleran ketika memeriksa RPP setoran guru. Tujuan,
kegiatan, dan penilaian pembelajaran yang dirumuskan secara asal-asalan dan
disusun secara acak-acakan sering luput dari kritik dan koreksi. Kekaburan
hubungan dan kerancuan jalinan antara tujuan, kegiatan, dan penilaian
pembelajaran pun jarang mendapat perhatian. Pembiaran berlarut-larut terhadap perencanaan
serampangan ini pada hakikatnya merupakan pengerdilan kapasitas guru secara
sistematis.
Pengerdilan kapasitas guru dalam
merancang penilaian dan pembelajaran bermutu sudah sedemikian kronis.
Rehabilitasi kapasitas guru menjadi urgen untuk diarusutamakan dalam implementasi
program Merdeka Belajar. Keterampilan mengembangkan desain penilaian autentik
dan pembelajaran holistik menjadi kebutuhan mendesak bagi mayoritas guru.
Kecakapan mengintegrasikan penilaian dalam aktivitas pembelajaran tidak kalah
penting untuk ditumbuhkan. Agar efektif berfungsi sebagai program rehabilitasi,
forum pengembangan keprofesian guru—pelatihan atau apa pun labelnya—memerlukan
revisi total.
Kurikulum pelatihan harus difokuskan
pada kompetensi substansial. Keterampilan mengembangkan penilaian dan pembelajaran
merupakan kecakapan esensial bagi guru dan menjadi faktor kunci keberhasilan peran
guru sebagai “koki” kemerdekaan belajar. Padahal, praktik penilaian hasil
belajar masih sering terjebak dalam tradisi penilaian semu: tes tulis, sumatif,
dan hanya menjangkau ranah kognitif tingkat rendah. Dapat ditebak, pembelajarannya
pun semu. Bisa saja kegiatan pembelajaran berlangsung seru, meriah, dan
menyenangkan. Namun, itu hanya tampilan luar atau superfisial. Siswa tidak
memperoleh pengalaman life skills, kompetensi yang dibutuhkan untuk
memasuki kehidupan nyata di masyarakat dan dunia kerja.
Bias pembelajaran dan penilaian
itu terjadi akibat pengorganisasian kurikulum pelatihan yang mengabaikan kohesi
dan koherensi antara keduanya. Di kampus pendidikan guru, mata kuliah strategi
pembelajaran terpisah dari mata kuliah penilaian pembelajaran. Di forum
pelatihan pun, keduanya disajikan terpisah. Ketika belajar strategi
pembelajaran, (calon) guru tidak memikirkan apa yang perlu dinilai dan bagaimana
menilainya. Demikian juga ketika belajar penilaian hasil belajar, mereka tidak
menggagas bagaimana skenario pembelajarannya.
Penilaian terintegrasi dengan
pembelajaran. Pernyataan ini dimuat berulang-ulang di dalam buku-buku panduan
penilaian terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sayangnya, guru tidak
pernah mendapat kesempatan untuk berlatih mengimplementasikan doktrin tersebut.
Oleh sebab itu, revisi kurikulum pendidikan calon guru dan pelatihan guru
menjadi tuntutan mendesak.
Untuk guru dalam jabatan, pengembangan
profesional semestinya berorientasi pada ketuntasan tiap-tiap guru sasaran. Mentoring
individual layak diterapkan sebagai model pembiakan guru “koki” pembelajaran
merdeka ini. Jumlah guru sasaran yang diampu seorang mentor dalam waktu
bersamaan dibatasi kuotanya. Guru sasaran mengakhiri program mentoring menurut
kecepatannya masing-masing, ketika sudah mencapai tingkat mahir. Setiap ada peserta
yang tuntas mencapai kemahiran, mentor bisa menambah guru sasaran baru.
Semoga program Guru Penggerak mampu
menjadi ladang pembiakan “koki-koki” kemerdekaan belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar